Penulis: Ashabul Kahfi | Editor: Muhammad Ichsan Semma
Setelah menjalani puasa sebulan penuh, tibalah hari di mana umat muslim merayakan lebaran. Hari di mana setelah menahan lapar, dahaga dan menekan segala amarah, kini rumah-rumah dipenuhi tawa dan pelukan. Bercengkerama bersama kakek dan nenek, ditemani kambing guling yang tersaji di atas meja makan dengan aroma khas santan yang menyeruak hingga ke sudut rumah.
Namun, ketika menjelang sore suasana itu perlahan meredup, bagaikan Ramadan yang begitu cepat berlalu. Lalu aku duduk termenung di teras rumah, sembari memandang lembayung senja yang perlahan dilahap buana. Tiba-tiba saja, seorang anak kecil melintas depan rumah sambil melompat kegirangan dengan tangannya menggenggam segepok uang yang—setelah kuselidiki—ternyata merupakan tunjangan hari raya (THR) dari beberapa sanak saudara dan tetangganya. Hal itu membawaku kembali menyelinap ke dalam lembaran-lembaran kenangan jenaka di masa kecil dulu.
Salah satunya  ketika Ramadan tiba, entah kenapa, dulu orang tuaku menuntut anaknya untuk ikut berpuasa. Tapi uniknya, aku dianjurkan hanya berpuasa setengah hari saja, sekadar tidak makan dan minum mulai terbit fajar hingga azan zuhur dikumandangkan.
Pertanyaan mulai bermunculan di benakku, waktu kecil dulu, kalian pernah tidak berpuasa setengah hari? Aku tak tahu, apakah hanya aku yang melakukan demikan atau dari kalian juga pernah? Aku harap begitu, paling tidak, maluku bisa lebih menciut dari sebelumnya.
Entah kenapa saat masih anak-anak, kita seringkali disuruh ikut berpuasa layaknya mereka-mereka yang sudah diwajibkan berpuasa meski setengah hari saja, hati turut senang bisa ikut melaksanakan ibadah puasa serta menyemarakkan bulan mulia itu. Walaupun hakikatnya di dalam Islam, puasa setengah hari itu tidak ada. Pun tidak diwajibkan bagi seorang anak yang belum balig untuk berpuasa. Hanya saja, bukan berarti lapar dan dahaga yang kudapatkan saat puasa setengah hari tak ada manfaatnya, melainkan hal unik yang kulakukan dulu itu, ternyata ditujukan untuk membuatku lebih terlatih untuk berpuasa ketika telah menginjak mukallaf.
Jika kita beralih ke esensi Ramadan secara keseluruhan, 30 hari yang kita habiskan untuk berpuasa pun sebenarnya hanya sebuah latihan. Ustaz Adi Hidayat dalam ceramahnya pernah menjelaskan hal ini: bahwa seluruh rangkain ibadah yang kita jalani sebulan lamanya, mulai membaca dan mempelajari al-Qur’an, giat mendirikan sholat sunnah, menghidupkan malam dengan berbagai macam ibadah yang dianjurkan, merupakan latihan sekaligus momen untuk mengambil banyak bekal spiritual dalam menghadapi godaan dan nafsu selepas Ramadan berakhir.
Nah, semenjak menginjak dewasa ini, aku semakin sadar bahwa ada banyak hikmah dan tujuan di balik perintah puasa. Bahkan puasa setengah hari yang dulunya kita jalani sama halnya dengan puasa yang kita laksanakan tiga puluh hari lamanya.
Puasa sebulan penuh, bukanlah hanya menjauhi larangan dan mengerjakan berbagai amalan bulan Ramadan itu sendiri, tetapi tiga puluh hari pertama merupakan ajang untuk seorang hamba melatih diri serta memperbanyak bekal keimanan untuk menyiapkan diri menghadapi hari-hari setelah Ramadan itu berakhir.
Kenapa saya mengatakan tiga puluh hari pertama? karena dalam kurun waktu tersebut merupakan tahap yang fundamental untuk bisa sampai ke esensi Ramadan. Sebab esensi Ramadan itu justru baru dapat dicapai ketika bulan itu berlalu.
Di kala momen Ramadan tiba, umat muslim berlomba-lomba untuk bederma dan lebih memasifkan tempo ibadah. Seperti halnya sebelum Ramadan, kita mungkin membaca al-Quran satu halaman, menyempatkan ibadah sunnah di kala sempat. Berbeda dengan ketika momen Ramadan tiba, membaca al-Qur’an adalah suatu kelaziman,  membacanya bahkan bisa satu lembar hingga satu juz perhari.
Di balik itu semua, orang-orang yang konsisten dan meningkatkan ibadahnya di bulan Ramadan, harusnya tetap mempertahankan kebiasaan positif dan ritme ibadah yang sebelumnya telah dibangun agar tetap langgeng hingga bertemu dengan Ramadan selanjutnya. Hal itulah yang menjadi esensi Ramadan yang tiga puluh hari kita lalui bersama.
Serupa dengan puasa setengah hari yang dulunya kita jalani, hal itu merupakan sarana seorang anak yang belum baligh untuk melatih diri agar kiranya lebih mudah melaksanakan ibadah puasa secara sempurna ketika sudah diwajibkan.
Nah, demikian pula ibadah yang kita jalani sebulan penuh, masa dimana seorang hamba melatih diri dan mengambil bekal sebanyak mungkin, karena saat momen Ramadan datang hati dan keimanan mudah tergerak untuk lebih giat beribadah, ikut meramaikan masjid, bahkan lebih rutin untuk membuka kembali lembaran firman Tuhan yang sekian lama tertidur dalam dekapan debu di tepian rak.
Lantas, apakah aneka ragam hal positif dan euforia di bulan Ramadan tetap melekat dan awet setelah momennya berakhir? Paling tidak euforianya berakhir, tapi keistiqomahan tetap terjaga. Atau boleh jadi, hal yang kusebut tadi juga ikut berakhir seiring Ramadan telah pergi. Semoga saja tidak demikian.
Usainya Ramadan, bukan berarti berakhir pula anjuran dan larangan di bulan itu. Melainkan bagaimana seorang muslim mempertahankan spiritualitas hamba yang telah dibangun sejak hari pertama bulan Ramadan.
Layaknya membangun sebuah rumah, dimulai dari pondasi kemudian berlanjut ke pembangunan tiang, dinding lalu ditutupi atap dan beberapa bagian lainnya hingga menjadi rumah yang sempurna. Demikian pula bulan Ramadan, fase dimana kita membangun pondasi keimanan lalu kemudian dilanjut dengan mendirikan aneka amalan baik nan terpuji sehingga ibadah yang kita jalani tetap terbangun tegak dan kukuh.
Tak sampai di situ, sebuah rumah yang sempurna nan kokoh baru bisa diketahui ketika rumah itu diterjang badai. Dalam artian, kita baru bisa mengetahui suatu hal benar-benar kokoh pada saat hal itu diuji.
Di sini saya tidak cuma berbicara tentang rumah, tetapi perumpamaan di atas menggambarkan bagaimana sebagian orang melihat Ramadan itu sendiri. Di bulan Ramadan kita memulai latihan diri, membangun kebiasaan positif serta melaksanakan anjuran-anjuran positif yang dibenarkan Tuhan.
Namun, sempurnanya hal itu semua bisa diraih apabila spirit ibadah dan kebiasaan positif kita senantiasa terjaga sekalipun Ramadan berakhir. Jika saat Ramadan saja langkah kita kadang tersendat dalam ibadah dan kebajikan, bagaimana dengan hari-hari setelahnya, tentu tantangannya semakin nyata.
Dengan demikian, meskipun senandung Ramadan telah mereda, semoga saja ritme dan irama ibadah tetap bergema dan terpatri di dalam hati dan keimanan seorang hamba hingga kelak bertemu dengan-Nya. Kendatipun Ramadan telah usai, sejatinya kepergian Ramadan bukan perpisahan, melainkan awal perjalanan seorang hamba. Wallahu a’lam.