ArtikelCerpensastra

Dongeng Negeri Dongeng

Penulis: Asdimansyah M. | Editor: Muh. Alwi Agung

Pembaca yang Budiman, jika dalam tidur Anda pernah memimpikan sulut api yang membesar, merayapi rumah-rumah, membuat orang-orang berlarian, saling membunuh, memerkosa, menjarah, di mana tak ada lagi tempat sembunyi, dan tak ada lagi cara untuk membedakan antara manusia dan hewan, maka izinkanlah aku menceritakan sebuah dongeng tentang Negeri Dongeng. Sebab mungkin saja yang Anda lihat itu bukanlah mimpi, melainkan bayang-bayang dari ingatan yang hilang.

Alkisah, di tengah riuh dunia yang saling mencurigai, bermusuhan, dan saling memusnahkan satu sama lain, terselip sebuah negeri yang luput dari gemuruh sejarah. Kurang lebih dua puluh delapan tahun penduduk negeri itu tak pernah mendengar suara dentuman senjata, merasakan kekerasan, ataupun melihat pertumpahan darah yang di banyak negara sudah dianggap lumrah terjadi di zaman itu. Mereka hidup dalam ketenangan dan kedamaian yang nyaris mustahil terjadi dalam sebuah negara dalam kurun waktu yang panjang, bagaikan sebuah negeri dongeng yang tersisa di antara reruntuhan peradaban.

Ya, demikianlah orang-orang menamainya: Negeri Dongeng. Sebuah negeri yang sangat diidam-idamkan oleh siapa pun yang percaya akan keberadaannya. Adalah hal yang wajar bagi orang yang pertama kali mendengar cerita tentang negeri itu menganggapnya sebagai mitos belaka. Namun begitu menemukan kebenarannya, mereka rela melakukan apa saja demi bisa menjejakkan kaki di sana.

Bagi orang asing, tinggal atau bahkan sekadar menginjakkan kaki di negeri itu merupakan sebuah impian yang setidaknya harus tercapai sekali seumur hidup. Setiap bulan, orang-orang dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong hendak memasuki Negeri Dongeng. Dan mereka yang telah menginjakkan kaki di negeri itu, seringkali enggan kembali ke negaranya. Hal itu membuat pemerintah Negeri Dongeng harus memasang tarif mahal dan menetapkan aturan ketat: hanya lima puluh turis yang diterima setiap bulan, dan mereka diwajibkan pergi setelah tinggal maksimal satu bulan.

Meski demikian, tidak sedikit yang menghalalkan bermacam cara untuk bisa menetap, bahkan tak jarang para turis menikahi pribumi agar bisa berpindah kewarganegaraan dan menjadi bagian dari Negeri Dongeng. Agaknya, kedamaian di Negeri Dongeng berhasil mengikat hati setiap pengunjungnya.

Saking damainya, profesi sebagai polisi dianggap profesi yang paling membosankan. Tak ada kasus yang dilaporkan, tak ada kerusuhan yang mesti ditangani, tak ada penjahat yang harus diburu. Para polisi hanya mejalani hari-hari yang menjenuhkan di kantor, bersantai seperti pengangguran yang kebetulan digaji negara.

Tentara, lebih jauh lagi, sudah nyaris dibubarkan. Perang tak pernah menyentuh dan sepertinya tak akan terjadi di negara itu. Hanya karena setitik kekhawatiran presiden bahwa mungkin suatu hari nanti Negeri Dongeng akan jadi rebutan, maka kedua institusi keamanan itu tetap dipertahankan. Sebab katanya, diam-diam negeri itu banyak diincar oleh negara-negara lain karena letaknya yang sangat strategis, baik dari segi ekonomi, politik maupun budaya. Selain itu, posisinya di garis khatulistiwa membuat Negeri Dongeng dianugerahi iklim tropis dengan tanah yang subur, serta sumber daya alam yang tak ada habisnya. Kalau kata orang-orang, “Tongkat kayu dan batu pun bisa tumbuh jadi tanaman.”

Namun konon katanya, kedamaian di negeri itu tidak datang begitu saja. Semuanya berasal dari sebuah peristiwa kelam yang telah lama dikubur dalam-dalam dari ingatan rakyatnya. Peristiwa yang menjadi trauma. Trauma yang membuat kulit-kulit bagai terbakar bila mengingatnya. Tak ada satu orang pun yang berani mengenang dan membicarakannya. Sampai mereka benar-benar melupakannya. Kecuali seorang pendongeng tua berkaos hitam yang senantiasa berdiri di depan istana negara setiap hari Kamis meneriakkan dan memeragakan cerita-cerita kelam yang katanya ia saksikan sendiri dua puluh delapan tahun lalu.

Di setiap awal ceritanya, pendongeng itu selalu membuka ceritanya dengan, “Pernah terjadi pembantaian besar-besaran di negeri ini, oleh sekelompok orang misterius yang entah dari mana datangnya. Mereka adalah orang-orang yang mengaku rela mengotori tangannya demi membersihkan negeri dari segala yang dianggap ancaman.” Setelah itu baru kemudian ia menceritakan berbagai macam peristiwa yang tak pernah gagal menarik perhatian siapa pun yang mendengarnya. Sebagian orang yang ikut menonton biasanya hanya menganggapnya hiburan belaka, namun tak jarang pula ada orang yang memercayainya. Walaupun semua yang pendongeng itu ceritakan tak ada dalam catatan sejarah Negeri Dongeng.

Pada suatu Kamis yang mendung, si pendongeng berkaos hitam datang berdiri di seberang pintu gerbang istana negara untuk menceritakan kisah-kisahnya—entah kenapa ia selalu memilih menceritakan kisahnya di depan istana negara, tetapi desas-desus mengatakan hal itu ia lakukan agar bisa menarik perhatian presiden untuk mendengarkan ceritanya, dan ia hanya akan berhenti bercerita saat tujuannya itu tercapai. Namun setelah enam pergantian rezim, tak ada seorang pun presiden yang pernah keluar untuk mendengarkan kisahnya. Walau demikian, pertunjukannya itu tak pernah sepi penonton. Selalu saja ada yang penasaran dengan kelanjutannya.

Hari itu berjalan dengan damai seperti hari-hari biasanya. Si pendongeng mulai membuka ceritanya, “Pernah terjadi pembantaian besar-besaran di negeri ini, oleh sekelompok orang misterius yang entah dari mana datangnya. Mereka adalah orang-orang yang mengaku rela mengotori tangannya demi membersihkan negeri dari segala yang dianggap ancaman. Namun kenyataannya, mereka hanya menciptakan kedamaian yang semu dan penuh kebohongan.” Penonton mulai mengernyitkan dahi, sedikit memalingkan wajah untuk menodongkan telinga-telinga mereka agar tak satu kata pun terlewatkan dari cerita itu.

Dengan tangan gemetar, urat dahi yang menegang, dan mata yang menyorot tajam, si pendongeng berkaos hitam perlahan mengarahkan telunjuk ke istana negara. “Dan sekarang mereka berkuasa, mereka ada di sana. Merekalah yang menuntun terjadinya semua tragedi kelam beruntun yang terjadi dua puluh delapan tahun lalu di negeri ini.”

Udara seakan terhenti. Lingkaran penonton yang awalnya renggang mulai merapat. Kepala-kepala menjulur ke depan, memusatkan pendengaran pada setiap huruf yang menetes bagai darah yang memekat mawar dari bibir kering si pendongeng. Dan dengan suara yang sedikit dipelankan ia melanjutkan, “Kebakaran ada di mana-mana waktu itu. Segerombolan orang dengan sepatu bot bergerigi dan berbadan besar datang, tapi bukan untuk memadamkan bara api. Sebaliknya, merekalah yang menyulut api, kemudian memecahkan kaca ruko-ruko setiap yang bermata sipit sembari berteriak, ‘PERKOSA MEREKA! PERKOSA!’”

Dari kerumunan penonton, terdengar bisikan samar, “Kenapa harus orang bermata sipit?” Si pendongeng menoleh, dan mendapati asal suara itu dari seorang perempuan dengan mata sipit dan berkulit putih bening. “Ya, kalian pasti bertanya, kenapa harus etnis kalian,” balas si pendongeng. “Hanya mereka yang tahu jelas,” ujarnya kembali mengacungkan telunjuk ke arah istana negara. “Kita hanya bisa menerka-nerka. Tapi satu yang pasti, kambing hitam selalu berguna saat suatu masalah tak dapat lagi diatasi,” lanjutnya.

“Dan sekarang, aku akan membuka sebuah rahasia yang akan mengembalikan ingatan kalian tentang hari itu, para pendengarku. Tentang siapa pelaku sebenarnya yang juga berpura-pura melupakan dosa besarnya itu. Lihatlah! Lihatlah di seberang jalan sana.” Semua mata penonton tertuju ke istana negara. “Di balik pintu istana yang berdiri megah itu …”

DOR!

Suara dentuman senjata tiba-tiba memutus cerita si pendongeng. Semua orang terdiam, mencari asal suara.

DOR! DOR!

Peluru-peluru melesat ke sana kemari. Namun tak ada yang tahu dari mana asal semua peluru-peluru itu. Semua orang mulai khawatir.

DOR!

Satu peluru berhasil menembus jantung si pendongeng. Kekacauan pecah. Orang-orang panik berhamburan.

DOR!

Peluru lain merobek kepala seorang mahasiswa.

DOR! DOR! DOR!

Orang-orang tumbang satu persatu. Peluru-peluru itu tak pandang bulu, seakan mampu mencari mereka yang masih bernapas. Tak ada tempat untuk bersembunyi. Suara dentuman yang tidak pernah mereka dengar semenjak hampir tiga dekade berlalu kini kembali menghantui. Memori kelam dalam kepala mereka pun kembali berdatangan.

Kerusuhan menjalar. Api-api berkobar menjilati gedung-gedung dan rumah warga. Orang-orang mulai kehilangan akal. Maut terpampang jelas di wajah setiap orang. Membuat mereka tak peduli kecuali pada diri sendiri. Ada yang teramat takut akan kematian. Ada yang terlampau takut tak sempat menikamati kehidupan. Jadilah mereka saling menjarah, membunuh, memerkosa, sebagaimana kekelaman yang terjadi dua puluh delapan tahun lalu. Kedamaian di Negeri Dongeng telah lenyap tenggelam dalam kepanikan.

Kabar segera sampai ke singgasana presiden. Wajahnya memucat. Tubuhnya bergetar. Potongan demi potongan masa lalu menyeruak merasuki kepalanya: jasad-jasad yang hangus, gadis-gadis ditelanjangi dan diperkosa belasan anjing jalanan, mayat-mayat dengan rongga peluru di kepala dan jantung, ibu-ibu yang menangis kehilangan anaknya, anak-anak belasan tahun yang menenteng darah dari kemaluannya. Semua ingatan itu membuat kulit-kulitnya mulai merasa terbakar tak karuan. Ia harus melakukan sesuatu—apa pun—agar semua kekelaman itu tak kembali.

“I-ini … serangan asing.  Mereka menginginkan kedamaian Negeri Dongeng kita,” katanya terbata. “Tembak siapa saja yang terlihat mencurigakan. Aku tidak peduli dari mana asalnya!”

“Siap, Pak.”

DOR!

DOR!

DOR!

Tubuh-tubuh berjatuhan. Namun kali ini bukan dari peluru yang tak dikenali asalnya. Melainkan datang dari kecurigaan yang melesat membabi buta, menghentikan detak jantung setiap yang bernyawa. Membuat gedung-gedung hangus terbakar, parit-parit dialiri darah, dan organ-organ berserakan di jalanan. Hingga pada akhirnya, tak ada lagi kehidupan yang tersisa di Negeri Dongeng. Kecuali satu: ia yang duduk di singgasana. Ia yang baru saja tersadar bahwa semua suara tembakan dan kekacauan itu tidak lain adalah suara dari dosa-dosanya dahulu, dosa-dosa yang menuntut penghakiman.

Demikianlah, Pembaca yang Budiman, sebuah kisah tentang Negeri Dongeng. Entah nyawaku masih melekat dalam jasad atau jasadku telah lama lenyap dimakan ulat saat dongeng ini sampai kepada Anda, namun yang pasti, Negeri Dongeng benar adanya. Dan aku pernah hidup dalam dongengku.

  • Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah Universitas Al-Azhar Mesir. Pria berdarah biru navy yang aktif ber-Wawasan sejak 2023 sampai 2025, sekaligus menjabat pemimpin redaksi 2024–2025.

    Lihat semua pos

Artikel Terkait

Beri Komentar