Penulis: Afriadi Ramadhan | Editor: Muhammad Rizqi Fauzi
Orang-orang di tanah air kadang lebay melihat kita kuliah di Mesir. Dikiranya tiap hari ikut kelas bareng guru besar di kampus, ngaji sama syekh top dunia, dan baca kitab setebal bantal terus. Padahal kenyataannya, mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) itu sering juga belajar sama kakak tingkat—apalagi yang masih maba. Aneh? Iya, kalau dilihat sekilas memang aneh. Tapi tenang, semua ada alasannya.
“Jauh-jauh ke Mesir kok belajarnya malah sama orang Indo?” Kalimat yang sudah kayak soundtrack wajib setiap kali ngobrol sama kenalan di Indonesia. Kadang nadanya heran, kadang nyinyir, kadang cuma basa-basi, tapi sama-sama salah paham.
Cara Memandang Mesir yang Salah
Yang saya percaya, sebenarnya tidak ada yang istimewa di Mesir kecuali Al-Azhar. Artinya, Mesir jadi berharga di mata dunia karena adanya Al-Azhar sebagai kiblat studi Islam sejak berabad-abad lalu.
Seperti kata Syekh Ali Jum’ah, mantan Mufti Mesir, “Al-Azhar adalah mercusuar ilmu dan wasathiyyah (moderasi) Islam. Siapa yang terhubung dengan Al-Azhar, maka ia terhubung dengan rantai panjang keilmuan Rasulullah.”
Begitulah cara para akademisi memandang Mesir. Negara ini bukan cuma sebatas lokasi di peta, tapi metode berpikir. Jadi kalau kamu mau belajar di Indonesia pun, tapi gurumu Azhari—ya kualitas ilmunya tetap “beraroma Mesir”.
Patokan belajar itu bukan soal apakah gurunya orang Mesir atau bukan, tapi apakah dia Azhari atau bukan. Karena “Azhari” bukan soal paspor, tapi cara berpikir, cara menyampaikan ilmu, dan cara menghargai sanad keilmuan.
Kurikulum Expert Universitas Al-Azhar
Tapi kan kalian udah di Mesir, harusnya belajar sama Syekh, dong!
Oke, masuk akal. Tapi yang jarang orang tahu, kitab diktat kuliah di Al-Azhar itu sudah tingkat atas. Levelnya sama kayak melawan bos terakhir di game tanpa skill dan tanpa senjata.
Sedangkan rata-rata mahasiswa Indonesia baru belajar kitab dasar, itupun kadang masih mengulang-ulang beberapa bab yang susah. Ibarat pemain cadangan PSM Makassar yang tiba-tiba dilempar ke Liga Inggris—ya jelas ngos-ngosan.
Makanya kita butuh strategi. Salah satunya: belajar sama kakak senior. Mereka bukan guru dalam arti formal, tapi jembatan hidup antara teori kitab dan realita mahasiswa. Dari merekalah kita mulai mengisi fondasi, menambal lubang-lubang pemahaman, dan menata ulang struktur belajar supaya tidak roboh di tengah jalan.
Dan satu hal penting: belajar bukan ajang gengsi. Kalau yang dikejar cuma supaya bisa update story “Ngaji bareng Syekh terkenal”, tapi tidak mengerti satu kalimat pun, ya itu namanya bukan thalabul ‘ilm, tapi content creator.
Belajar Langsung ke Lautan Ilmu
Setahun lalu saya nekat ikut kajian kitab ‘Ilal al-Hadits bareng Syekh Ahmad Ma’bad, ulama hadis nomor wahid di muka bumi saat ini. Dari awal, semua orang kelihatan khusyuk dan paham, sementara saya cuma bisa pelanga-pelongo. Orang sudah tersambung dengan 5G, sedangkan saya masih H+. Satu kalimat pun tidak ada yang menyangkut. Tapi saya tahan, saya pikir mungkin butuh adaptasi.
Sampai momen itu datang. Syekh Ma’bad menerangkan satu topik, lalu ada yang angkat tangan bertanya. Saya tengok — ternyata yang bertanya itu merupakan dosen saya sendiri di kampus.
Di situ saya cuma bisa bengong.
Bahkan dosen saya yang bergelar doktor pun masih duduk belajar di majelis ini, lalu apa urusan saya untuk tetap di sini?
Sehabis kajian saya sempat menyapa beliau, tapi cuma sebentar, karena beliau sibuk mencoret-coret draf tesis mahasiswa S2. Momen itu yang bikin saya sadar: ada waktu untuk “datang ke laut”, tapi ada juga waktu untuk belajar dulu cara berenang.
Pertama Masuk Kuliah: Seperti Kembali Jadi Balita
Waktu pertama kuliah, saya kayak bayi baru belajar ngomong. Bahasa yang saya dengar di Mesir rasanya asing sekali. Bahasa yang selama ini saya pelajari di pondok, tiba-tiba terasa tak berguna.
Belum lagi di kelas, ketika dosen ngomong secepat angin dengan istilah akademik yang entah dari planet mana. Kalau disuruh jawab, rasanya kayak mau langsung menangis saja.
Nah, di titik inilah peran senior Indo itu jadi penting banget. Peran mereka kayak subtitle ilmu.
Menjelaskan istilah-istilah yang diucapkan dosen, menerjemahkan logika yang melompat-lompat, dan bikin kita mengerti konteksnya. Jadi pas sudah duduk di kelas bareng Syekh, otak sudah tidak kosong-kosong amat.
Bukan karena kita malas, tapi karena akses memahami ilmu memang butuh penerjemah di awal.
Belajar Bukan Soal Lokasi
Yang paling bergengsi dari gaya belajar mahasiswa itu bukan karena ke mana-mana harus bawa paspor dan kitab tebal, tapi karena metode akademik yang dia genggam. Dan, yang bisa memberi itu bukan sekadar lokasi, tapi siapa yang bisa bikin kita paham.
Syekh Mesir memang lautan ilmu, tapi kita semua tahu: sebelum menyelam ke laut, kamu harus bisa berenang dulu. Dan berenang itu kadang bukan diajarkan oleh pelaut, tapi oleh kakak tingkat yang sudah duluan tenggelam—dan berhasil naik lagi.
Tapi ya, jangan juga keterusan nyaman belajar sama senior. Karena kalau ujung-ujungnya ogah ikut majelis Syekh cuma karena lebih gampang paham bahasa Indo, ya buat apa ke sini? Belajar via WhatsApp juga bisa. Rute yang bagus itu: mulai dulu dengan senior, pahami istilah dan arah ilmunya, baru naik kelas ke Syekh yang jadi samudra ilmu itu.
Sebab seperti kata para ulama, “Ilmu itu tidak diberikan sekaligus, tapi setahap demi setahap, sebagaimana wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.”






