Praktik pendulangan keuntungan yang menargetkan calon pelajar Al-Azhar kian merajalela. Bermodalkan janji manis, pelaku (baca: mediator bodong) membujuk para korban hingga akhirnya terpikat untuk menggunakan jasa mereka. Para korban yang termakan oleh iming-iming manis itu lantas mendaftarkan diri pada mediator-mediator bodong tersebut.
Dalam praktiknya, mediator menjanjikan berbagai fasilitas lengkap: tiket, akomodasi, pendampingan, hingga pendaftaran kuliah. Sayangnya, tak sedikit dari mereka yang justru memanfaatkan ketidaktahuan Camaba dan orang tua untuk meraup keuntungan pribadi.
Mengenai masalah ini, Wawasan Mesir mewawancarai beberapa narasumber yang menjadi korban praktik mediator bodong ini. Salah satu di antaranya adalah MW, yang berangkat ke Mesir pada tahun 2021 melalui salah satu mediator pemberangkatan.
Dalam wawancaranya, MW menuturkan, bahwa awal mula ia terjebak praktik ini adalah ketika ia diberikan tawaran oleh temannya yang bermitra dengan mediator tersebut untuk berangkat ke Mesir tanpa melalui tes dengan membayar biaya sebesar Rp 25 juta.
“Waktu itu dia bilang ini yang paling murah, dan emang dia yang paling murah waktu itu, sih. Selebihnya ada yang Rp 25 juta sampai ada teman saya yang kena Rp 60 juta,” ujar MW menceritakan tawaran temannya saat itu.
MW turut menjelaskan, bahwa beberapa mediator memang menerapkan sistem kemitraan untuk memperluas jangkauannya, sehingga semakin banyak yang bisa ikut dengan mereka. Orang-orang yang dijadikan sebagai mitra pun bukan orang sembarangan, banyak di antara mereka yang merupakan pelajar Al-Azhar itu sendiri.
Sistem kemitraan yang diterapkan oleh mediator ini sebenarnya memiliki tujuan yang baik—memperluas jangkauan ke calon mahasiswa yang minim informasi. Hanya saja, tanpa disertai dengan regulasi yang baku seperti ketetapan harga dan komunikasi yang baik dengan klien, maka sistem kemitraan ini hanya akan menjadi ladang bagi para mitra untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dari para camaba yang tidak tahu apa-apa.
Menanggapi tawaran temannya itu, MW awalnya merasa heran, sebab saat mendaftar ia tidak dihubungkan langsung dengan pihak mediator. Ia lantas meminta kontak mediator yang bermitra dengan temannya tadi untuk dapat menghubunginya secara langsung. Namun, permintaan MW tidak dikabulkan, temannya berdalih, bahwa kontak mediator ini tidak dapat dihubungi oleh sembarang orang. MW hanya diminta untuk menyiapkan berkas dan menunggu jadwal keberangkatan jika benar-benar ingin ke Mesir.
Setelah berpikir panjang, MW akhirnya mengikuti tawaran temannya, dengan dalil bahwa ia dan temannya sudah kenal sejak lama, sehingga tidak mungkin ia ditipu. Tibalah masa keberangkatan, MW berangkat dari kampung halamannya menuju Jakarta sebelum terbang ke Mesir. Saat itu juga, MW baru mendapatkan nomor pihak mediator dari temannya.
MW lalu menghubungi pihak mediator dan bertemu dengannya. Oleh pihak mediator, MW baru mengetahui, bahwa total biaya sebenarnya yang ditetapkan oleh mediator adalah sebesar Rp 15 juta. Jumlah itu berbeda dari apa yang sebelumnya telah ia bayarkan kepada temannya sebesar Rp 25 juta, lebih besar dari jumlah yang ditetapkan oleh pihak mediator.
Dalam kasus yang dialami oleh MW ini, ketidakbakuan regulasi dari pihak mediator dalam berkomunikasi dengan para mitranya menjadi sorotan. Pasalnya, tanpa regulasi yang jelas dari pihak mediator perihal nominal yang dibayarkan oleh Camaba ini dapat menjadi pintu masuk mitra mediator untuk memeras korbannnya.
Tak hanya MW, dampak dari ketidakbakuan regulasi dari mediator juga dialami oleh HK yang berangkat dengan mediator lain. Pada sesi wawancara, HK menceritakan, bahwa ia yang hanya memiliki ijazah SMK diberangkatkan oleh mediator dengan iming-iming bahwa semuanya akan aman terkendali. Padahal, salah satu berkas yang menjadi persyaratan untuk mendaftar pada lembaga pendidikan di Mesir, yaitu surat rekomendasi Kementrian Agama (Kemenag) belum HK miliki.
“Saya ‘gak ada rekomendasi dari Kemenag lalu diberangkatin, katanya sambil nunggu aja. Ternyata rekomendasi dari kemenag itu ‘gak jadi, sampai akhirnya visa habis,” ungkap HK menjelaskan nasib yang menimpanya.
Konsekuensi yang ditimbulkan dari pemberangkatan paksa camaba ini tidak main-main, para korban harus menjalani kehidupannya di Mesir tanpa kejelasan selama kurang lebih dua tahun. Ketidaklengkapan berkas tadi, berimbas pada para korban yang tidak bisa mengurus iqamah (baca: izin tinggal) di Mesir. Hal ini dikarenakan mereka tidak terikat pada satupun lembaga pendidikan yang ada di Mesir.
HK mengalami hal tersebut, hingga habisnya masa aktif visa yang ia miliki, ia masih belum mendapatkan kejelasan dari pihak mediator perihal pendidikannya di Mesir. Terhitung sejak awal kedatangannya pada tahun 2023 lalu, sampai berita ini ditulis pada Jumat 30 Mei 2025, HK masih belum didaftarkan oleh mediator pada satupun lembaga pendidikan yang ada di Mesir. Oleh mediator, HK malah ditawarkan untuk keluar dari Kairo terlebih dahulu, agar nantinya masuk kembali ke Mesir dengan visa yang baru.
Contoh lainnya lagi dari ketidakbakuan regulasi yang ditetapkan oleh mediator, juga bisa dilihat pada video di kanal YouTube Wawasan TV yang diunggah 5 Juli 2024 lalu. Dalam video itu, para korban menceritakan bahwa mulanya mereka mendaftar pada program ma’had yang diadakan oleh mediator Al-Azhar Center. Namun, setibanya mereka di bandara, mereka dioper tiba-tiba ke mediator Afwaja, yang mana mereka tidak pernah tahu sebelumnya pada mediator Afwaja ini.
Tak hanya masalah ketidakbakuan regulasi, berbagai masalah lain juga tak luput terjadi disebabkan oleh para mediator yang hanya sekedar berniat untuk meraup keuntungan dari para korban. Salah satu masalah yang tak kalah banyaknya adalah perihal biaya yang ditetapkan oleh mediator yang sangat tinggi untuk fasilitas yang tidak sepadan.
Ayu (nama samaran) yang saat ini tinggal di asrama salah satu mediator menceritakan pengalamannya selama tinggal di sana. Ia menuturkan, bahwa total biaya yang ia bayarkan setiap bulan adalah sebesar Rp 2,5 juta. Dengan nominal tersebut, ia menceritakan bahwa apa yang ia dapatkan tidak sepadan dengan apa yang ia bayarkan, khususnya pada persoalan makanan.
Ia menceritakan, bahwa setiap pagi, menu yang disediakan hanya tempe dan sayur yang berisi wortel dan kol. Selama Ayu tinggal di mediator tersebut, menu itu tidak pernah diganti, beberapa teman-temannya bahkan rela membeli lauk sendiri dari luar asrama. “Kalau bisa sebenarnya kami ‘gak mau bayar uang makan, biar masak sendiri aja, tapi enggak bisa,” ungkap Ayu.
Kesenjangan antara biaya yang dibayarkan dengan fasilitas yang didapatkan oleh peserta mediator bukan hanya pada persoalan makanan, fasilitas belajar serta tempat tinggal juga menjadi sorotan. Pada beberapa mediator, para peserta dituntut untuk membayar biaya belajar yang tinggi, namun para peserta tidak mendapatkan apa yang mereka bayarkan tersebut.
Masalah serupa juga dialami oleh DV. Ia mengungkapkan, bahwa sewaktu di Indonesia, pihak mediator mengirimkan foto asrama yang katanya akan mereka tinggali ketika sudah sampai di Mesir. Total biaya yang DV bayarkan untuk semua fasilitas yang pihak mediator janjikan adalah sebesar Rp 45 juta.
“Waktu dikirimin foto asrama di WhatsApp, sih, harga segitu menurut saya make sense, karena bagus dan rapi. Cuma pas sampai ternyata ‘gak sesuai yang di foto, gedung yang kami tempati itu ternyata gedung kosong yang ‘gak ditempati selama dua tahun,” ujar DV mengenang kembali masa awal kedatangannya di Mesir.
DV menambahkan, selain gedung yang tidak sesuai dengan yang telah mediator janjikan, seluruh fasilitasnya juga demikian. Ia mengungkapkan bahwa kasur dan ranjang yang ia tempati seperti tidak layak pakai dan merupakan bekas orang lain. Ketika ditanya mengenai hal ini oleh DV dan teman-temannya, pihak mediator menjelaskan, bahwa tempat tersebut hanya untuk sementara waktu, mereka akan dipindahkan setelah 6 bulan dan seluruh pemberkasan kuliah diselesaikan.
Akan tetapi, ketika waktu pemberkasan kuliah tiba, pihak mediator tak kunjung memberi aba-aba untuk para pesertanya agar segera mengurus pemberkasan. DV dan teman-temannya juga tidak bisa berbuat apa-apa, sebab handphone mereka ditahan dan mereka tidak diperbolehkan untuk keluar asrama.
Hingga waktu pemberkasan ditutup, DV dan teman-temannya tak kunjung mendapat kejelasan. Mereka akhirnya mulai memberontak kepada pihak mediator. Merespons pemberontakan dari DV dan teman-temannya, bukannya memenuhi tuntutan mereka, pihak mediator malah melakukan kekerasan kepada orang-orang yang memberontak secara langsung.
“Teman saya yang perempuan sempat visum karena dipukul oleh pihak mediator. Ada juga teman saya yang sempat dicekik,” ungkap DV. Tak tahan dengan segala masalah yang ada pada mediator tersebut, DV dan teman-temannya memutuskan untuk keluar secara paksa dari mediator tersebut.
Berbagai permasalahan yang menimpa para korban mediator di atas hanya sebagian kecil dari kompleksnya masalah mediator-mediator bodong ini. Ayu, DV, HK, dan MW hanya sebagian kecil dari banyaknya korban, di luar sana, masih banyak sekali korban mediator-mediator bodong yang belum tahu bagaimana nasib mereka ke depannya.
Hingga tahun ini, mediator-mediator yang ada sudah tak dapat dihitung jari lagi jumlahnya. Memang, kita tak dapat menggeneralisasi bahwa semua mediator yang ada tersebut berupaya memanfaatkan mimpi dan cita-cita para calon pelajar Al-Azhar dan menjadikannya sebagai komoditas. Banyak di antaranya yang memiliki niat tulus untuk membantu. Namun, tak sedikit pula yang berniat licik sehingga akhirnya menimbulkan korban sebagaimana yang sudah dijabarkan di atas.
Tulisan ini adalah bagian dari upaya merekam suara-suara mereka—agar tidak lagi ada korban berikutnya. Karena mimpi seharusnya tak dijadikan komoditas oleh mereka yang hanya mencari keuntungan di atas penderitaan orang lain.