ArtikelBudayaEsaiMasisirOpini

Ngaret: Sebuah Refleksi tentang Ketepatan Waktu dalam Kehidupan Mahasiswa

Oleh: Muhammad Riski Maulana

Di mana pun kaki berpijak, mahasiswa Indonesia senantiasa membawa serta karakter khas mereka—baik dalam pola pikir, interaksi sosial, maupun budaya keseharian. Salah satu fenomena yang hampir selalu melekat dalam identitas mereka adalah kebiasaan ngaret—sebuah eufemisme untuk ketidaktepatan waktu yang telah disepakati.

Uniknya, budaya ini tidak hanya berakar di tanah air, tetapi juga menjelma menjadi realitas yang turut menyertai diaspora akademik, termasuk dalam komunitas mahasiswa Indonesia di Mesir, yang lebih dikenal sebagai Masisir.

Muncul pertanyaan menarik yang layak untuk direnungkan: Apakah ngaret ini sekadar warisan budaya yang terbawa dari Indonesia, atau justru mengalami eksaserbasi di lingkungan baru seperti Mesir?

Definisi Ngaret

Dalam terminologi sehari-hari, ngaret atau yang lebih dikenal sebagai “jam karet” merepresentasikan fleksibilitas waktu dalam arti yang kurang menguntungkan—yakni anggapan bahwa waktu bukanlah sesuatu yang mutlak, melainkan sesuatu yang dapat ditawar dan diulur. Jika dikaji dalam perspektif ilmu mantiq (logika), sebuah definisi ideal harus memenuhi unsur jāmi‘ (komprehensif, mencakup semua yang masuk dalam kategori tersebut) dan māni‘ (mengeliminasi yang tidak termasuk).

Dalam kerangka ini, ngaret dapat didefinisikan secara lebih sistematis sebagai: “keterlambatan dalam menepati waktu yang telah disepakati, disebabkan oleh kelalaian atau kurangnya penghargaan terhadap waktu”. Kita bisa memposisikan “keterlambatan” sebagai jins-nya, kemudian “dalam menepati waktu yang telah disepakati” bisa diposisikan sebagai fashl-nya, serta “disebabkan oleh kelalaian atau kurangnya penghargaan terhadap waktu” sebagai faṣhl keduanya—atau sebagian logikawan menyebutnya dengan istilah qaid.

Dengan definisi ini, kita dapat memahami bahwa ngaret bukan sekadar kebiasaan, melainkan juga cerminan dari cara seseorang memperlakukan waktu—apakah sebagai entitas yang bernilai dan patut dihargai, atau sekadar variabel yang bisa dinegosiasikan. Ini adalah refleksi yang seharusnya menjadi bahan pertimbangan dalam kehidupan akademik dan sosial, terutama bagi mereka yang berada di lingkungan yang menuntut kedisiplinan tinggi.

Dampak dan Problematika Ngaret: Sebuah Catatan Kritis

Bayangkan jika sejak pagi kamu telah menyusun rencana harian dengan cermat—menetapkan jadwal bimbel dari pukul 14.00 hingga 16.00, kemudian rapat organisasi dari pukul 17.00 hingga 19.00. Dengan perencanaan seperti ini, seharusnya kamu dapat menjalani hari dengan tertib tanpa perlu mengorbankan salah satu agenda. Namun, kenyataan sering kali tidak seideal teori. Ngaret hadir sebagai variabel tak terduga yang mampu merusak tatanan rencana yang telah dirancang dengan baik.

  1. Efek Domino Keterlambatan. Misalkan sesi bimbel yang seharusnya dimulai pukul 14.00 tertunda hingga pukul 15.00, maka konsekuensinya tidak hanya sebatas keterlambatan awal. Sesi tersebut otomatis akan berakhir lebih lambat dari jadwal, katakanlah pukul 17.00—dan itu pun jika tidak ada tambahan keterlambatan lainnya. Dalam kondisi seperti ini, bukan hanya jadwal selanjutnya yang terganggu, tetapi juga kualitas aktivitas yang sedang dijalani. Pikiranmu akan terpecah, fokus dalam belajar terganggu karena dihantui kekhawatiran akan keterlambatan menghadiri rapat.
  2. Dilema Keputusan: Bertahan atau Pergi Lebih Dulu? Beberapa pengajar bimbel, sebagaimana yang pernah penulis alami, biasanya memberikan kebebasan bagi murid untuk meninggalkan kelas lebih awal jika memiliki hagah (urusan) lain yang mendesak. Sekilas, ini tampak sebagai solusi yang baik, tetapi sejatinya menempatkan mahasiswa pada dilema baru: tetap mengikuti sesi hingga selesai dengan risiko terlambat ke rapat, atau pergi lebih awal dengan konsekuensi kehilangan materi yang masih dibahas.

Namun, masalah tidak berhenti di situ. Katakanlah kamu memilih opsi kedua—pamit dari bimbel lebih awal demi hadir tepat waktu di rapat. Dengan segala usaha agar tidak ngaret, kamu pun tiba di lokasi sesuai jadwal. Ironisnya, rapat yang seharusnya dimulai pukul 17.00 ternyata juga mengalami keterlambatan. Di titik ini, kerugian yang kamu alami menjadi berlipat ganda: kamu kehilangan materi bimbel yang belum selesai, dan pada saat yang sama, kamu tetap harus menunggu karena rapat tidak dimulai tepat waktu.

  1. Skala Masalah yang Lebih Luas. Apa yang terjadi dalam contoh bimbel dan rapat ini hanyalah gambaran kecil dari realitas yang lebih besar dalam kehidupan Masisir—khususnya bagi yang aktif kuliah, talaki, ataupun organisasi. Kebiasaan ngaret tidak hanya berdampak pada satu individu, tetapi menimbulkan efek berantai dalam ekosistem sosial dan akademik. Agenda yang semestinya berjalan efisien menjadi berantakan, waktu yang berharga terbuang sia-sia, dan pada akhirnya, budaya disiplin semakin sulit ditegakkan.

Dalam konteks akademik, kebiasaan ini bisa berimplikasi pada rendahnya etos kerja dan profesionalisme di masa depan. Jika mahasiswa terbiasa dengan fleksibilitas waktu yang berlebihan, maka transisi ke dunia kerja—di mana ketepatan waktu sering kali menjadi indikator kredibilitas seseorang—akan menjadi tantangan besar. Oleh karena itu, perlu ada refleksi mendalam: sampai kapan ngaret akan terus menjadi bagian dari identitas kita?

Dalam bukunya Cara Bersikap Tegas dalam Segala Situasi, Sue Hadfield & Gill Hasson mengungkapkan bahwa “ketika Anda mampu bersikap lebih tegas, Anda juga akan merasa lebih mudah mengambil keputusan.” Prinsip ini sangat relevan dalam membangun budaya ketepatan waktu dan menghindari kebiasaan ngaret.

Ngaret: Budaya atau Kebiasaan Pribadi?

Dalam perbincangan mengenai fenomena ngaret, muncul pertanyaan yang cukup menarik: apakah keterlambatan ini merupakan bagian dari budaya masyarakat Mesir, atau sekadar kebiasaan individu yang terbawa dari tanah air?

Ustadz Saed Muhsen, seorang pengajar bahasa ‘ammiyah dan budaya Mesir, memberikan pandangan yang cukup bijak dalam menjawab dilema ini. Beliau mengungkapkan bahwa masyarakat Mesir, sebagaimana masyarakat di negara lain, memiliki dua sisi—ada yang sangat menghargai ketepatan waktu, dan ada pula yang terbiasa dengan kelonggaran waktu. Menurutnya, tidak dapat dikatakan bahwa ngaret adalah ciri khas budaya Mesir secara mutlak, karena pada akhirnya, hal ini kembali pada individu masing-masing.

Jika ditelaah lebih lanjut, pernyataan ini sejalan dengan realitas di Indonesia sendiri. Di tanah air, kita pun menemukan individu dan komunitas yang menjunjung tinggi kedisiplinan waktu, tetapi tidak sedikit pula yang menganggap ngaret sebagai sesuatu yang lumrah. Oleh karena itu, menyematkan ngaret sebagai “budaya Mesir” bukanlah analisis yang tepat. Justru, fenomena ini lebih merupakan hasil dari kebiasaan pribadi yang terbentuk dalam lingkungan sosial tertentu.

Bagi Masisir, memahami bahwa ngaret bukanlah sesuatu yang inheren dalam budaya Mesir adalah langkah penting untuk merefleksikan kembali kebiasaan ini. Apakah keterlambatan yang kerap terjadi di lingkungan Masisir memang disebabkan oleh pengaruh sekitar, atau justru karena ketidaktegasan dalam membangun budaya disiplin di antara sesama mahasiswa? Pertanyaan ini seharusnya menjadi bahan renungan bagi siapa saja yang ingin menjadikan waktu sebagai aset berharga dalam perjalanan akademik dan sosial mereka.

Solusi: Memutus Rantai Ngaret dengan Kesadaran Kolektif

Fenomena ngaret bukanlah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Namun, untuk mengubahnya, diperlukan upaya kolektif yang dimulai dari kesadaran individu. Tanpa kesadaran ini, kebiasaan buruk akan terus berulang dan menjadi bagian dari pola hidup yang sulit diubah. Berikut beberapa solusi konkret untuk mengatasi masalah ini:

  1. Mulai dari Diri Sendiri. Leo Tolstoy, seorang filsuf dan sastrawan Rusia, pernah mengungkapkan sebuah kebijaksanaan yang melampaui zaman: “Setiap orang berpikir untuk mengubah dunia, tetapi tak seorang pun berpikir untuk mengubah dirinya sendiri”. Salah satu alasan utama ngaret terus berulang adalah pola pikir yang permisif terhadap keterlambatan. Tidak jarang seseorang dengan sengaja datang terlambat ke suatu acara—misalnya, acara yang dijadwalkan pukul 13.00, tetapi diputuskan untuk dihadiri pukul 14.00 dengan alasan, “Nanti juga orang lain datang telat, daripada nunggu lama.

Namun, jika semua orang berpikir demikian, maka budaya ini tidak akan pernah berubah. Oleh karena itu, langkah pertama dalam memutus rantai ngaret adalah komitmen untuk datang tepat waktu, tanpa dipengaruhi oleh ekspektasi keterlambatan orang lain. Kedisiplinan individu akan menjadi contoh yang pada akhirnya dapat membentuk kultur kolektif yang lebih baik.

  1. Memprediksi Estimasi Waktu Perjalanan. Faktor eksternal juga sering menjadi penyebab keterlambatan, salah satunya adalah transportasi. Dalam sebuah riset kecil yang penulis lakukan, perjalanan dari Darrosah ke Asyir menggunakan tremco memakan waktu hampir satu jam. Namun, perlu dicatat bahwa tremco tidak akan berangkat sebelum penuh, sehingga waktu tempuh ini bisa lebih lama jika tidak memperhitungkan waktu menunggu.

Untuk menghindari keterlambatan akibat faktor transportasi, maka perencanaan waktu harus dilakukan dengan cermat. Jika acara dimulai pukul 14.00 dan waktu tempuh perjalanan sekitar satu jam, maka idealnya seseorang sudah keluar rumah maksimal pukul 13.00, bukan baru bersiap-siap atau bahkan baru mandi pada jam tersebut.

  1. Membangun Budaya Ketepatan Waktu dalam Komunitas. Disiplin waktu bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga harus menjadi bagian dari etos dalam komunitas. Jika dalam suatu lingkungan semua orang terbiasa untuk tepat waktu, maka individu yang sering terlambat akan merasa terdorong untuk menyesuaikan diri. Oleh karena itu, penting bagi komunitas, organisasi, atau kelompok belajar untuk menetapkan standar waktu yang tegas, termasuk memberikan konsekuensi bagi keterlambatan yang tidak beralasan.
  2. Mengubah Mindset: Waktu adalah Bagian dari Profesionalisme. Di luar lingkungan akademik, budaya ngaret dapat berdampak pada profesionalisme seseorang. Di dunia kerja, keterlambatan tidak hanya dianggap sebagai ketidakteraturan, tetapi juga sebagai indikasi kurangnya etos kerja. Oleh karena itu, membiasakan diri untuk menghargai waktu sejak dini akan menjadi investasi berharga dalam perjalanan karier dan kehidupan sosial di masa depan.

Kesimpulan

Budaya ngaret bukanlah sesuatu yang tidak bisa diubah. Ini bukan tentang karakter bangsa, melainkan kebiasaan yang terbentuk dalam lingkungan sosial. Oleh karena itu, perubahan harus dimulai dari diri sendiri dengan membangun pola pikir yang benar, memperhitungkan waktu perjalanan dengan cermat, serta bersikap tegas dalam menghargai waktu. Jika semua orang berkomitmen untuk memutus rantai ngaret, maka budaya ketepatan waktu bisa menjadi kebiasaan baru yang lebih produktif dan menguntungkan bagi semua.

Artikel Terkait

Beri Komentar