Penulis: Muhammad Kamil | Editor: Muhammad Rizqi Fauzi
Terinspirasi dari hadis Rasulullah Saw.
مَنْ صَامَ رَمَضانَ ثُمَّ أَتَبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كانَ كصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barang siapa yang berpuasa Ramadan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka baginya (ganjaran) puasa selama setahun penuh.” (HR. Muslim).
Di sebuah kota kecil di Papua, yang tersembunyi di balik lekukan-lekukan bukit hijau yang permai. Robertus memandang langit yang senja, berwarna merah lembayung seperti luka yang belum pernah sembuh. Matahari tenggelam perlahan, meninggalkan jejak-jejak keemasan di langit yang semakin gelap, seolah-olah menggambarkan kehidupan Robertus yang kian meredup. Di usia 27 tahun, dia telah merasakan pahitnya kehilangan pekerjaan, sesuatu yang tak pernah ia bayangkan akan terjadi padanya.
Kota kecil ini, yang dahulu penuh dengan harapan dan keceriaan, kini sepi dan murung. Krisis ekonomi telah menghantam dengan kekuatan yang tak terduga. Robertus berdiri di depan rumah kayunya yang sederhana, meresapi kesunyian yang terasa lebih dalam dari biasanya.
Rumahnya yang dikelilingi oleh pepohonan rindang dan tanaman bunga liar yang bermekaran, seolah-olah menjadi satu-satunya tempat ia bisa menemukan ketenangan. Namun, hari itu ketenangan pun terasa tak cukup untuk meredakan kegundahannya. Dengan langkah berat, Robertus memasuki rumah, meninggalkan senja di luar.
Ibu Robertus, seorang wanita yang bijak dengan rambut yang telah memutih oleh waktu, menatap anaknya dengan tatapan yang sarat dengan kasih sayang. Ia tahu betul bahwa hati Robertus sedang dilanda badai. Namun, ia percaya bahwa badai ini akan berlalu.
“Robertus, ingat nasihat ibu!” kata sang ibu dengan lembut. Suaranya bagai alunan lagu yang menenangkan jiwa. “Jangan pernah menyerah! Optimisme adalah kunci untuk keluar dari kegelapan.”
Robertus hanya mengangguk, meskipun hatinya dipenuhi keraguan. Kata-kata ibunya selalu menjadi cahaya dalam gelap, tetapi kali ini, kegelapan terasa terlalu pekat untuk diterangi. Dengan penuh kekhawatiran, ia menghabiskan malam itu dalam diam, merenungkan masa depan yang tampak suram.
Sudah tiga hari sejak selesai lebaran Idulfitri nuansa bahagia masih terasa, namun kesulitan yang Robertus hadapi semakin membesar, seperti ombak yang terus menghantam karang tanpa henti. Setiap kali ia mencoba mencari pekerjaan baru, pintu-pintu tertutup di hadapannya, meninggalkan jejak kehampaan di hatinya.
Seminggu sejak selesai lebaran Idulfitri, Robertus mendapat kabar dari temanya bahwa ada perusahaan yang mencari pekerja. Dengan bangga Ia kemudian duduk di depan meja kayu tuanya. Matahari mengintip di balik jendela menerangi selembar kertas kosong di depannya. Dengan tangan gemetar, ia mulai menulis Curriculum Vitae (CV) dengan sangat rapi. Setelah semuanya selesai, ia membawa ke kantor pos.
Robertus hanya tinggal menunggu beberapa hari untuk dapat balasan dari perusahaan yang ia tuju. Ia berharap CV-nya diterima oleh perusahaan tersebut. Sudah berkali-kali Robertus menawarkan diri ke perusahaan-perusahaan, berkali-kali pun ia ditolak dengan berbagai macam alasan.
Hari demi hari berlalu bersama dengan sepucuk harapan. Akhirnya pesan dari perusahaan itu kunjung juga lewat gawai jadulnya. Robertus dengan segenggam penantian ia pun membuka pesan itu lalu melihatnya. Dengan segenap kesabaran ia mengelus-elus dadanya dan berkata, “Mungkin bukan di sini jalannya.” Ia tidak diterima oleh pihak perusahaan itu.
Atas keridaan hati, Robertus tidak ingin lagi membuat CV untuk melamar pekerjaan, rasa trauma menghantui pikirnya sejak saat ia ingin memulai membuat CV untuk melamar pekerjaan. Ia kembali ke kamar untuk mengistirahatkan jiwa yang berkali-kali ditempa cobaan.
Pekerjaan hari-hari Robertus hanya membantu sang ibu di rumah; Membersihkan rumah, memasak dan membeli kebutuhan dapur. Sesekali ia jadi tukang batu di kampungnya, dari sanalah ia dapat upah untuk bertahan hidup. Mencari pekerjaan sampingan adalah pilihan terakhir Robertus.
***
Di malam yang gelap, Robertus tengah duduk di depan rumahnya, ia melihat ada satu cahaya kecil yang terus menyala, meskipun redup. Ada seorang pria yang berjalan menghampirinya dengan jubah putih dan sepucuk kertas di tangan kanannya. Robertus tidak tahu orang ini siapa dan dari mana asalnya, ia hanya berdiri menyambut sang pria itu.
“Cari siapa, Pak?” tanya Robertus dengan ramah.
“Ini ada surat lowongan pekerjaan untukmu,” jawab pria itu sembari memberikan kertas.
Antara senang dan bingung, Robertus mengambil kertas itu dari tangan si pria. Sebelum ia membuka lembaran surat itu, si pria dengan mendadak berpamitan dengan Robertus untuk pulang. “Kalau ingin tahu info lebih lengkapnya silakan datang besok pagi ke kantor kami, alamatnya sudah tertera di kertas itu,” ucapnya sembari membalikkan badan dan pergi.
Malam itu, Robertus masuk rumah setelah melihat si pria itu agak jauh dari pandangannya. Sebelum ia masuk kamar, ia memperlihatkan kertas itu pada ibunya dan membicarakan soal perusahaan yang menawarkannya pekerjaan. Ibu Robertus bersyukur setelah sekian lama Robertus menganggur akhirnya dapat pekerjaan.
Keesokan harinya Robertus pergi ke alamat yang tertera di dalam kertas, dengan berbekal doa ibu ia percaya bahwa pekerjaan inilah yang bisa menghidupkan mereka berdua. Saat tiba di depan perusahaan, ia langsung disambut oleh pria yang kemarin malam mendatanginya. Mereka berdua berjalan masuk sembari bercakap-cakap tentang perjalanan Robertus ke perusahaan itu.
Beberapa menit perjalanan akhirnya Robertus dan Si pria itu sampai ke salah satu ruangan. Tanpa ada briefing, si pria menyuruh Robertus masuk. Robertus sempat tidak percaya diri, tapi si pria itu selalu memberikan secercah kekuatan batin dan meyakinkan Robertus bahwa dunia akan baik-baik saja.
Robertus pun masuk dengan ucapan salam yang sedikit canggung. Seorang bapak-bapak menjawab salam Robertus dan mempersilahkan duduk di depan mejanya. Robertus berjalan dengan kepala menunduk, ia tak berani menatap mata bapak itu. “Apa kabar, Nak Robertus,” sapa si bapak sambil melihat Robertus menjalang duduk.
“Nak?” kata Robertus dalam hati. Sepanjang ia di-interview baru kali ini ia di panggil “Nak”. Robertus mengingat-ingat kembali wajah keluarganya, tapi tidak menemukan wajah bapak ini. Kemudian ia mengingat-ingat kembali wajah orang yang pernah ia temui akhir-akhir ini, tapi tidak menemukan wajah bapak ini.
“Alhamdulillah baik, Pak,” kata Robertus yang masih bingung. “Kalau boleh tahu kenapa bapak mengundang saya ke sini?” lanjutnya.
“Saya ingin Nak Robertus kerja di sini,” Kata si bapak, menawarkan.
Lagi-lagi kata “Nak” itu mengusik pikiran Robertus, tapi ia berusaha mencoba agar tidak menggubris hal itu sebab tujuan ia datang ke perusahaan ini untuk mendapat pekerjaan.
“Kerja apa, Pak?” tanya Robertus.
“Bekerja di sini simpel, Nak Robertus. Nak Robertus hanya perlu menahan makan dan minum selama enam hari. Meskipun itu tidak berturut-turut. Adapun ganjaran yang di dapat setara dengan berpuasa selama satu tahun. Simpelkan, Nak Robertus?”