Penulis: Muhammad Rizqi Fauzi P. | Editor: Asdimansyah M.
“Tadaa, udah jadi, nih. Ibu masak opor ayam kesukaanmu, Yu. Makan yang banyak, yah, Ibu masak banyak, kok.”
“Wiiih, ada opor ayam. Makan enak lagi, nih.”
“Enak aja, opor ayam ini khusus buat Ayu. Bapak makannya tempe sama nasi yang kemarin aja.”
“Yaah, enggak seru, dong. Nanti Bapak minta opor ayam punya Ayu aja kalau gitu,” dengan ekspresi mengejek, Bapak menimpali Ibu yang enggan membiarkannya menyendok opor ayam untuk diletakkan ke piringnya.
Sepiring nasi hangat dihidangkan di hadapan Ayu, lengkap sudah kombinasi makanan malam itu, nasi hangat dan semangkuk opor ayam lezat buatan Ibu.
“Sebelum kita makan, kita baca doa dulu, yah,” sambil mengangkat tangan, Bapak memimpin doa, diikuti oleh Ibu dan Ayu.
Makan malam berlangsung hangat, sesekali diisi oleh celetukan Bapak yang melempar jokes garing khasnya. Ibu bercerita tentang resep opor ayam buatannya yang dari tahun ke tahun tak pernah berubah rasanya. Ayu diam saja sembari menyimak orang tuanya bercakap. Ayu memang seperti itu sejak kecil, tak suka banyak bicara. Orang tuanya paham betul akan hal itu dan mereka membiarkannya, tak menuntut Ayu untuk menjadi seseorang yang bukan dirinya.
Jam dinding menunjukkan pukul setengah delapan malam, seluruh masakan di atas meja makan tandas sudah, menyisakan opor ayam yang kini tinggal setengah. Ibu membereskan piring-piring kotor di meja. Ayah membantu mengelap meja, lalu memasukkan sisa opor ayam tadi ke dalam kulkas.
“Ayu, nanti malam kalau kamu masih mau makan, opor ayamnya ada di dalam kulkas, yah. Nanti tinggal kamu panasin di kompor,” ucap Ibu pada Ayu yang sejak tadi masih tak beranjak dari kursi.
Ibu berlalu meninggalkan dapur dan Ayu yang sibuk memainkan anak rambutnya di sana, disusul oleh Ayah, menuju ke kamar yang berada di lantai dua.
“Bu, besok ulang tahun Ayu, ingat, kan?” ujar Bapak sembari mengusap kepala istrinya dengan lembut.
“Iya, ingat, Pak. Besok kita kasih hadiah apa, yah?”
“Bagaimana kalau kita kasih boneka beruang yang tempo hari pernah dia tunjukin ke kita?”
“Nah, bener tuh, Pak. Boneka itu aja, dia pasti suka,” Ibu menimpali, senyum tipis terlihat di wajahnya.
“Siip, kalau gitu Ibu tidur, gih. Seharian ini pasti capek bolak balik kantor polisi. Besok sore kita kasih Ayu boneka itu, yah”
“Iyya, Pak. Bapak juga istirahat, seharian ini pasti capek datang ke kantor-kantor surat kabar. Selamat tidur, Pak,” Ibu lalu mengecup pipi Bapak. Yang dicium salting tak karuan, ia balas mengecup dahi istrinya.
***
Mobil melaju menuju sebuah toko mainan di pusat kota, sesuai kesepakatan mereka semalam, mereka pergi membeli sebuah boneka beruang besar untuk Ayu, putri mereka. Cukup mahal memang, tapi hal itu tak akan sebanding dengan kebahagiaan untuk putri mereka.
Selepas membeli boneka, mereka bergegas meninggalkan tempat itu. Mobil melaju kembali, mereka berdua sudah tak sabar untuk memberikan boneka tersebut kepada putri kesayangan mereka.
Setengah jam perjalanan ditempuh dari toko mainan tadi ke tempat yang mereka tuju. Tak ada sepatah kata yang terucap dari sepasang suami istri itu sejak tadi. Hanya ada suara mesin kendaraan dan klakson mobil yang sesekali terdengar dari kendaraan lain di belakang mereka.
Satu jam berlalu, mereka akhirnya sampai di tujuan mereka. Debur ombak yang menabrak karang menyambut mereka begitu keluar dari mobil. Hamparan pasir putih mengusap halus telapak kaki mereka.
Tak terlalu jauh dari tempat mobil mereka terparkir, berdiri kokoh sebuah batu karang besar yang pada permukaannya sengaja dibuat rata. Pada permukaan batu karang tersebut ditulis dengan indah:
Di laut ini beristirahat dengan tenang putri tercinta kami:
Putri Rahayu binti Bayu Setiabudi
Tepat di bawah tulisan itu, tertempel sebuah potongan surat kabar yang dilapisi kaca tebal.
Seorang Anak SMP Hanyut Terbawa Ombak di Pantai Karang Asem
Selepas membaca doa, mereka meletakkan boneka beruang besar itu di atas batu karang yang menjadi nisan untuk anak kesayangan mereka.
“Kira-kira Ayu lagi ngapain, yah, sekarang?” Ibu membuka percakapan di antara mereka.
“Pasti udah main-main sama penduduk laut, Bu. Seperti nama yang kita kasih untuk dia: Rahayu, dia pasti udah tenteram di sana.”
“Aamiin. Nak… Ibu sama Bapak datang bawain kamu boneka beruang besar yang pernah kamu kasih lihat itu, loh. Nanti diambil, yah. Buat kamu pakai main sama teman-teman kamu di sana.”
***
“Bu…Pak… Di sini Ayu punya banyak teman baru, ada ikan paus, udang, kepiting, dan lain-lain. Sebenarnya Ayu rindu sama Ibu sama Bapak, tapi nggak apa-apa, deh. Toh, suatu saat kita bakalan ketemu di surga, kan?” ucap Ayu dengan tersenyum begitu manis di kejauhan sana sambil memeluk boneka beruang besarnya dengan begitu erat.