Cerpensastra

Askia

Penulis: Ryan Saputra | Editor: Muhammad Rizqi Fauzi

Setelah berhari-hari membaca dan menulis ulang, Askia akhirnya mengirim surat itu kepada anak pertama dan terakhirnya di Macawe. Ia menulisnya dalam waktu yang cukup lama. Memilah dan memilih kata yang tepat untuk sebuah kesepahaman adalah proses yang lama.

Keraguan itu selalu ada. Termasuk ketika amplop surat itu jatuh ke dalam bus surat. Askia seperti ingin mencabut kuku-kukunya saja karena telah melakukan kesalahan yang tidak bisa ia maafkan. Namun, surat itu telah berada dalam sarangnya, ia harus kembali menyulam sepinya, seperti tiga hari yang lalu, seperti bulan lalu, tahun-tahun lalu, besok, dan seterusnya.

Namun Askia adalah sosok yang tak tahu apa itu menyesal. Ia memahami betul perempuan sudah ditakdirkan untuk menjaga tungku sepi agar tetap menyala. Takdir, katanya, ibarat rahim di tubuhnya yang selalu tabah. Mau siapapun yang keluar darinya, calon polisi, dokter, guru, preman pun sekalian, ia akan tetap merawatnya walaupun ia tak mendapatkan apa-apa.

Di jalan menuju rumah, Askia menimbang-nimbang lagi semua kalimat yang telah ia tulis dalam surat itu. Apakah masih ada kalimat yang seharusnya ia hapus atau justru ada kata yang bisa menyalahi maksudnya sendiri? Atau lebih dari itu, apakah masih ada kata-kata tajam seperti mata pisau yang pernah melukai tangannya? Ia takut melukai hati anaknya.

***

Nak, dua hal yang aku benci dalam hidup, September dan pohon kedondong di belakang rumah. Entah sudah berapa September berlalu, aku tak pernah menghitungnya lagi, aku sempurna sendiri. Sepi. Arung sudah tidak mau menemaniku mempertahankan rumah tangga ini. Kami pisah. Pohon kedondong harus ditebang, sebagai simbol perpisahan. Pohon itu pohon pernikahan. Aku malu sebenarnya mengatakan kalau kedondong itu adalah mahar pernikahanku. Kalau tetanggaku tahu, mulut mereka akan berbusa seperti dibubuhi sebuah detergen tapi tidak membersihkan pakaian-pakaiannya.

Memang dari dulu, aku tak ingin memberatkan hari-hari Arung, bahkan hingga saat hari pernikahan kami. Aku katakan padanya, “Aku hanya ingin pohon kedondong, kita tanam sama-sama di belakang rumah nanti.” Seketika itu, ia sujud syukur. Beban pikiran untuk mendapatkan seratus kuda, emas berkilo-kilo gram, uang ratusan juta, ikut berjatuhan ke tanah yang lapang. Akhirnya, kami resmi berbahagia tepat 20 tahun yang lalu dengan bibit pohon kedondong.

Kami dikarunia banyak buah dari pohon itu, tidak terhitung angka-angka. Dikupas, dirujak, dan dimakan bersama seperti biasa di beranda belakang rumah. Meskipun masih kecil, kamu tentu ingat masa-masa itu. Kamu keselek batu kedondong, wajahmu sudah memerah, kami berdua panik tapi sedikit tertawa juga.

Ketika Arung menebang pohon itu, aku menangis. Aku tahu, Arung juga menangis dengan bahasanya sendiri. Pohon itu harus ditebang sebagai akhir cerita, akhir cerita pernikahan. Kami telah sepakat dalam keraguan. Pohon itu akhirnya tumbang oleh parang yang tidak begitu tajam sehingga libasan-libasannya juga ikut menancap dalam dada.

Waktu itu September, kamu berlari ke dapur belakang sambil memeluk tangis. Arung harus pergi dari rumah ini, hari itu tidak untuk kembali lagi. Ia pergi ke kota lain, bukan ke kantor untuk mencari nafkah hidup untuk aku, kamu, dan pohon kedondong. Hingga aku mengantarnya ke beranda rumah, ia membawa tas berisi baju dan celana yang masih aku hafal warna dan baunya. Sehingga aku menjadi paham, bahwa perceraian memang selalu diberi hadiah air mata, kadonya kesedihan. Selalu begitu adanya. Sama seperti di sinetron- sinetron. Dengan itu, maafkan kami, maafkan aku.

Sebelum Arung pergi, mata lembab kami saling bersalaman secara diam-diam, “Tidak perlu berusaha melupakan pohon itu. Kau harus tahu, lupa adalah lahan subur kenangan-kenangan. Biarkan ia mengalir seperti sungai. Saatnya akan tiba, kau akan betul-betul lupa, Askia.”

***

Nak, dua hal yang aku benci dalam hidup, September dan pohon kedondong. September selalu tiba dengan kemarau tajam. Bunga-bunga di depan rumah butuh disiram. Begitupun pohon kedondong di belakang rumah. Aku pernah melihat ada tunas kecil hinggap tumbuh, lalu kering dan mati. Pohon itu butuh bulan hujan, bukan September. Begitu pun di dalam rumah ini, September tidak pernah beranjak. Ia betah. Sibuk meletakkan neraka-neraka di setiap sudut, di ruang tamu, di ranjang, di meja makan, juga di dada. Setiap sore, ketika aku duduk di beranda belakang rumah, tidak lain, hanya melihat tanaman-tanaman sekarat, termasuk pohon kedondong. Ia berdiri mengekalkan dosa-dosa, dan dosa adalah pemimpin yang baik bagi penyesalan-penyesalan, lalu rakyatnya adalah kenangan-kenangan itu. Mereka tumbuh subur di mana-mana. Tentang rujak, tentang kamu, tentang Arung.

Aku adalah tubuh semata. Kosong. Aku ingin mati saja di bulan September, seperti ia mematikan tanaman-tanaman di belakang rumah. Tetapi, nyatanya mati tidak bisa dipesan lalu seseorang mengantarkannya di depan rumah. Namun, mati yang kuinginkan, justru separuhnya telah dibawa Arung entah kemana, selebihnya ada di kamu, yang entah kemana jua. Aku adalah sepi, tanpa ada lagi apa-apa di dalamnya kecuali perasaan yang beralih menjadi kalimat-kalimat dalam surat ini. Aku telah mati, jauh malam sebelum doa-doaku tiba di alamat Tuhan.

Kenangan terus tumbuh serupa hutan belantara. Di dapur, di kamar mandi, di beranda, di halaman depan, di taman belakang rumah, di dinding, di langit-langit, di mana-mana. Bahkan pernah suatu hari, selepas mandi sore, aku menemukan kenangan tumbuh di daun telingaku, warnanya mirip gumpalan asap kretek Arung. Ketika aku bercermin lagi, aku selalu menemukan hutan-hutan baru di tubuhku. Terakhir, aku melihat hutan hijau tumbuh di kelopak mataku. Akar-akarnya kekar dan keras. Tanganku tidak mampu lagi mencabutnya. Semakin aku menangis, ia akan langgeng menghijau. Aku salah. Aku kira, bulan September ini kekurangan air. Ternyata di mataku menyimpan banyak air yang tak kenal tua dan mati. Air mata itu seperti hujan, menyediakan minum buat akar-akar pohon. Pohon-pohon kenangan. Ada yang bernama Ipan, Arung, dan pohon kedondong.

Aku berharap di penghujung surat ini, kamu masih membaca dan melihat. Aku tidak akan tahu apa yang kamu bayangkan. Apakah kesedihanku, kesepianku, ataukah penderitaanku. Aku berharap kamu tidak melihat selain itu. Ipan, kamu di mana?

***

“Ia pergi karena aku. Ia tidak tahan lagi. Arung itu mandul. Kamu adalah anak orang lain.”

Mungkin suasana akan menjadi hening seperti bumi sebelum terisi apapun. Namun, pertanyaan itu aku tahu adalah sebuah brankas tua yang telah tersimpan lama dalam kepalamu.

“Awalnya Arung sepakat aku tidur dengan lelaki itu. Tapi aku mau punya anak satu lagi, seorang anak perempuan. Suatu pagi, ia menemukanku melakukannya dengan orang itu. Ia sudah tidak kuat lagi. Ia kecewa denganku.”

Sampai kapanpun, aku pasti susah menyebut nama lelaki itu, nama ayahmu. Di mana pun. Aku akan menghirup kekuatan dalam-dalam sebelum bisa mengucapkannya. Belum lagi air mataku akan semakin deras mengalir. Dari sini aku semakin tahu, mata memang hadir seperti sungai, hadir mengalirkan air.

Sejak saat itu, kamu juga menyusul Arung dalam kepergiannya.

Artikel Terkait

Beri Komentar