ArtikelResensi Buku

Membaca Satir Politik ala Mikal Hem dalam Buku “Kiat Menjadi Diktator”, Antara Iya atau Tidak Menjadi Pemimpin Edan

Penulis: Ryan Saputra | Editor: Asdimansyah M.

Jauh sebelum buku ini hadir dalam pangkuan, beberapa teman dunia maya telah menanggapi cerita WhatsApp saya saat menampilkan sampul karya Mikal Hem ini. Berbagai tanggapan kesenangan, kekhawatiran, dan kengerian menghiasi room chat saya waktu itu. Posisi saya yang belum membaca sama sekali buku tersebut, pun saya respon seadanya saja tanpa terpengaruh dari tanggapan-tanggapan itu.

Memang secara eksplisit, judul buku ini terdengar ambigu. Kesan pertama yang kemudian mengilhami beragam penafsiran, turut menggodok akal saya untuk memikirkan, interpretasi apa saja yang akan muncul. Pertama, bahwa buku ini akan menghidangkan prosedur bagi mereka yang tertarik menjadi diktator. Kedua, bahwa karya ini akan mengisyaratkan agar menghindari kediktatoran. Ketiga, bahwa buku ini akan menjadi pengingat bahwa aktivitas kediktatoran dekat dengan kehidupan kita.

Dengan kompleksitas pikiran yang ada, saya mendiskusikan buku ini lewat forum resensi yang dipelopori oleh mahasiswa Indonesia di Kairo suatu hari. Lewat forum tersebut, saya mendapatkan tantangan baru untuk melerai pertanyaan-pertanyaan audiens, mulai dari yang esensial hingga yang final.

Salah satu bahasan yang cukup menarik saat itu adalah ketika seorang teman melemparkan pertanyaan perihal definisi diktator itu sendiri. Sejujurnya, pertanyaan ini sempat membuat  saya dilema beberapa detik. Sebab, bahasan itu tidak saya dapatkan sama sekali di buku ini. Mikal Hem tidak menjelaskan secara definitif, tapi secara implisit, jurnalis Norwegia tersebut mengibaratkan diktator sebagai Tuhan Yang Maha Segalanya.

Misalkan, Rafael Trujillo, diktator dari Republik Dominika, memasang plang neon besar di ibu kota Ciudad Trujillo bertuliskan “Dios y Trujillo” atau Tuhan dari Trujillo. Gereja-gereja di negeri itu harus menggantung slogan “Dios en cielo, Trujillo en tierra” yang mengasosiasikan bahwa ada dua Tuhan di alam semesta ini, Tuhan yang ada di langit dan tuhan yang ada di bumi, yaitu Trujillo. Penisbatan-penisbatan seperti ini sah-sah saja untuk dilakukan oleh seorang diktator. Karena bagi Mikal Hem, batas kekuasaannya hanya pada imajinasinya saja.

Aktivitas ketuhanan versi diktator ini berlanjut dinarasikan oleh penulis di awal pembahasan. Bahwa, ego, legitimasi, dan kuasa yang dimiliki oleh seorang diktator mampu meraup banyak keuntungan apa saja. Sebagai makhluk yang dimana “keuntungan” telah menjadi naluri dan motivasi, manusia diktator mampu mendirikan menara tinggi seperti Felix Kouphouet-Boigny yang mendirikan gereja terbesar di dunia, memberlakukan peraturan aneh seperti Nicolae Ceausescu yang melarang penggunaan mesin tik tanpa surat izin resmi, hingga menganugerahi diri sendiri dengan berbagai gelar seperti Idi Amin sebagai “Penguasa seluruh hewan di bumi dan ikan di laut”.

Keuntungan di atas adalah hanya sebagian kecil saja dalam dunia kediktatoran. Menurut Mikal Hem, ketika menjadi diktator, kita dapat memperoleh kekayaan sebanyak-banyaknya, seperti Suharto yang mampu meraup untuk dirinya antara 15 sampai 35 miliar dolar selama memerintah Indonesia, menulis novel laris seperti Muammar Gaddafi yang menjadikan bukunya sebagai silabus sekolah, akses seluas-luasnya kepada pasangan seks yang atraktif seperti Raja Ibn Saud yang telah mengambil keperawanan lebih dari 700 gadis, dan bergelimang kemewahan seperti Kim Jong-il yang menghabiskan 20 juta dolar untuk membeli 200 unit Mercedes terbaru yang dia dihadiahkan kepada para pendukung setianya.

Tapi, pertanyaannya adalah bagaimana cara memanfaatkan kesempatan itu sebesar-besarnya? Sepuluh bab di buku ini akan menjadi jalan mulus dalam rangka menjadi penguasa mutlak yang tak terlupakan. Khusus pada tulisan ini, saya hanya menghadirkan beberapa part pembahasan yang tak asing terjadi, bahkan di negara kita sendiri.

  • Memegang Tampuk Kekuasaan Hingga Dukungan Luar Negeri

Proses menjadi diktator tidak harus sulit, jika kita berada dalam tempat dan waktu yang tepat. Untuk menjadi diktator, ada satu hal yang jelas-jelas harus kita miliki: tampuk kekuasaan suatu negara. Walaupun sejatinya diktator memiliki arena permainan sendiri dibanding dengan kepala negara, tapi sulit rasanya untuk memisahkan antara keduanya. Ditambah lagi ketika melihat fakta-fakta historis, para pelaku diktator itu kebanyakan dari pemimpin negara.

Agar sampai pada pucuk kekuasaan, terdapat banyak cara yang ampuh untuk mengambil alih kekuasaan. Misalkan, Mikal Hem menghadirkan data pengambilalihan kekuasaan oleh Samuel Doe di Liberia pada 1980 dengan sebuah “coup d’etat” atau kudeta. Kudeta merupakan pemindahan kekuasaan secara mendadak yang biasanya dilakukan oleh sekelompok kecil orang dalam aparat kekuasaan sebelumnya. Biasanya pelaku kudeta berasal dari militer. Karena bagi Mikal, tanpa dukungan militer, mustahil kudeta dapat berlangsung.

Selanjutnya, dukungan luar negeri merupakan cara ampuh dalam memuluskan jalan kediktatoran. Karena ada suatu masa kita cukup menyatakan ingin mencegah komunis berkuasa demi mendapatkan bantuan dari Amerika Serikat. Sebaliknya, kita pasti akan mendapat bantuan dari Uni Soviet bila menyatakan akan melawan kapitalisme.

Saat Patrice Lumumba misalkan, seorang perdana menteri pertama terpilih di Kongo yang baru merdeka, dekat dengan pihak Rusia. Saat itu, pihak Amerika menjadi khawatir. Kepala cabang CIA di Kongo, Larry Devlin, menggambarkan bagaimana CIA mencoba menyelundupkan pasta gigi beracun untuk membunuh Lumumba dan menempatkan kandidat yang mereka restui, Mobutu Sese Seko.

  • Memanfaatkan Pemilu

Dalam sejarah kediktatoran, ada satu poin yang disoroti Mikal Hem, bahwa: masalahnya tidak selalu soal bagaimana meraih kekuasaan. Mempertahankannya dalam jangka panjang itulah yang membutuhkan kepandaian, kemahiran, serta kepekaan. Seperti pada umumnya, para pemimpin negara pasti akan mendapatkan resistensi dan oposisi dari sebagian rakyatnya yang menuntut adanya pemilihan umum demokratis.

Namun, lagi-lagi, seorang diktator punya banyak alat bantu untuk mempertahankan kekuasaan tanpa mempertimbangkan apa kata rakyat, termasuk dalam belantika Pemilu. Walaupun dalam sebuah negara diktator, pada dasarnya Pemilu adalah sesuatu yang tidak perlu, tapi Pemilu demokratis punya berbagai fungsi lain yang berguna bagi diktator.

Contoh, dengan mengizinkan adanya sedikit oposisi, kita dengan mudah mendapatkan pandangan soal apa yang akan dilakukan oleh lawan-lawan kita. Di sisi lain, menyelenggarakan Pemilu menunjukkan iktikad untuk melakukan reformasi demokratis. Dan ketika melakukannya dengan benar dan mendapatkan hasil yang diinginkan tanpa banyak kehebohan, maka Pemilu akan menambah legitimasi kita.

Cara-cara memastikan kemengan Pemilu seperti ballot stuffing atau mencurangi kotak suara, kendali atas media, hingga menampilkan citra adalah cara-cara klasik yang masih langgeng digunakan sampai hari ini. Seperti saat diktator Turkmenistan, Saparmurat Niyazov menghitamkan ubannya, semua foto publik sang presiden harus diganti atau digambar ulang. Para pelukis dikerahkan pada malam hari untuk mengubah potret-potret besar yang menghiasi gedung-gedung di ibukota. Dalam propaganda publik tersebut, hitamnya rambut Niyazov digunakan sebagai penegasan baiknya kondisi kesehatan sang presiden.

  • Bagi-Bagi Kue dengan Kerabat

Mikal Hem dalam bab “Berbagi (dengan Orang-orang Dekatmu)”  menuturkan bahwa kita tidak selamanya harus menjadi diktator kalau ingin menikmati kehidupan ala diktator. Kadangkala cukup dengan menjadi sanak kerabat seorang diktator. Baik sebagai saudara, pasangan, dan anak biasanya merupakan posisi bergengsi di negara otoriter.

Di antara hak istimewa yang diperoleh oleh sanak kerabat diktator adalah tidak terjangkau hukum, kemudian saat ada projek besar bisnis nama-nama mereka telah berada dalam antrian paling depan, hingga pengaruh politik dan pekerjaan yang layak. Sehingga, hampir selalu baik menjadi kerabat diktator daripada menjadi diktator itu sendiri.

Di Tunisia misalkan, menantu pria mantan presiden Zine el-Abidine Ben Ali adalah yang paling kontras gaya hidupnya sebagai playboy. Banyak yang menyangka Sakher El Materi yang menikah dengan putri bungsu Ben Ali akan ditunjuk sebagai penerus sang presiden. Walaupun pada akhirnya rencana-rencana El Materi tersebut kandas saat rakyat muak dan memutuskan untuk mengusir keluarga diktator tersebut hingga kabur ke luar negeri pada Januari 2011.

Di Arab Saudi, keluarga raja memiliki kendali total atas politik dan kekayaan minyak negara itu, sesuatu yang membuat ribuan pangeran bisa mencicipi manisnya dunia. Pangeran Saud Abdulaziz bin Nasser al Saud, cucu raja Abdullah, pada 2011 dihukum penjara seumur hidup di Inggris karena membunuh pelayan prianya. Mereka berdua minum-minum sampanye dan koktail “sex on the beach” di bar hotel bintang lima tempat mereka menginap.

Pada akhir tulisan ini, layaknya dengan masa akhir kediktatoran, juga harus ditutup dengan akhir yang tepat. Karena, Mikal Hem mengingatkan bahwa, akhir dari karier politik diktator bisa datang tiba-tiba. Kalau kita berhasil mempertahankan kekuasaan tanpa menjadi korban kudeta atau pembunuhan, kemungkinannya ada dua. Kita bisa terus berkuasa sampai mati atau kita menyerahkan kekuasaan kepada orang lain.

Namun, sangat sedikit diktator yang memilih kemungkinan kedua. Kalau mereka bisa memilih, pasti hampir seluruhnya memilih terus berkuasa sampai mati. Karena berhenti sebagai pemimpin negara bisa punya konsekuensi serius. Seorang mantan diktator bisa disalahkan atas pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, nepotisme, kecurangan pemilu, dan mendapatkan kekuasaan secara ilegal.

Jadi, sebenarnya kata “untung” yang menjadi bulan-bulanan dalam dunia kediktatoran memang dominatif tapi juga dilematis. Ambiguitas dari akar kata “untung” ini seperti “keuntungan” akan membuat bimbang pendengar ketika teks tersebut diwacanakan. Berbeda jikalau diksinya seperti “diuntungkan” atau “saling menguntungkan” sudah jelas keberpihakannya ke mana.  Sehingga, kebimbangan “iya atau tidak” atau “baik atau buruk” menjadi diktator,  pun cukup terasa hingga penghujung buku ini dituliskan. Namun, jikalau saya disuruh memilih, mending jadi pemuda yang rajin salat sunnah sebelum subuh aja, maka dunia akan dijamin untuk saya.

Artikel Terkait

Beri Komentar