Guru Tua (Gambar: dok. Wawasan) |
Haul Guru Tua sudah ada di depan mata, tapi
sudah seberapa kenalkah kita dengan guru tua? Hanya kenal nama saja, atau
mungkin mendengar namanya pun kita masih asing?
Seorang ulama karismatik dengan nama lengkap
Habib Idrus bin Salim Al-Djufri yang lebih dikenal dengan panggilan Guru Tua ini
lahir pada 15 Maret 1892 M, di kota Taris, Hadramaut Yaman.
“Beliau (Guru Tua) lahir di suatu daerah, kota
bernama Taris, kadang kalau di internet itu orang biasa tulis Tarim, tapi itu salah,” ungkap
Habib Muhammad bin Saleh, salah satu keturunan Guru Tua dalam sesi wawancara Bersama
kru Wawasan pada Sabtu, 3 September 2022 di kediamannya yang terletak di Hay
Sabi’.
Guru Tua tumbuh di kalangan ahli ilmu, yang berahlak, dan
memiliki budi pekerti yang sangat tinggi. Ia dibesarkan oleh ayahnya yang bernama
Habib Salim bin Alwi Al-Djufri, ia diajarkan ilmu agama dan Alquran dari kecil sehingga
sudah menghafal Alquran secara keseluruhan di umurnya yang masih sangat belia.
Tidak hanya itu, sebab didikan keilmuan yang
ia terima sejak masih kecil, di umurnya yang ke 25 tahun ia sudah menjadi mufti
yang bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan di kalangan masyarakat
setelah ayahnya meninggal dunia.
Dalam napak tilas perjuangannya, Guru Tua yang
menginjakkan kaki di tanah Merah Putih untuk berdakwah pada akhirnya turut
berjuang bersama rakyat untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Statusnya yang
lahir bukan dari Rahim Pertiwi, tidak menjadi alasan yang dapat menyurutkan perjuangannya
yang didasari oleh cinta pada ilmu dan Tanah Air.
Dan dari proses perjuangan itu lahirlah
berbagai warisan untuk bangsa Indonesia, mulai dari bendera Merah Putih dan filosofinya,
serta Pondok Pesantren Al-Khairat di kota Palu, yang hingga kini masih eksis
dan menjadi ikon bagi Indonesia Timur, khususnya Sulawesi Tengah.
dakwahnya.
Habib Idrus bin Salim Aldjufri mendatangi
Indonesia sebanyak dua kali, yang pertama, pada usia 17 tahun, ia diajak oleh
ayahnya untuk mengunjungi ibunya yang sudah lebih dulu berangkat ke Indonesia,
tepatnya di Manado. Sementara yang kedua kalinya adalah pada tahun 1922 karena
Yaman pada saat itu berada di masa penjajahan Inggris. Karena kecaman dari bangsa
Inggris yang melarang beliau untuk berdakwah di Yaman dan memberikan pilihan untuk
melakukannya selain di negara tersebut, ia akhirnya memutuskan untuk pindah.
Pada saat itu beliau bersama dengan temannya yang
bernama Habib Abdurahman Assegaf, dimana mereka memiliki cita-cita tinggi untuk
menyebarluaskan ilmu agama dan melawan penjajahan Inggris, yang pada akhirnya membawa
dua orang itu pergi ke tempat pilihannya masing-masing, Habib Abdurahman
Assegaf memilih untuk kembali ke Mekah dan Guru Tua melanjutkan perjalanannya
ke Asia Tenggara.
Awalnya, ia bermukim di Pekalongan hingga menikah
dan mempunyai anak di sana. Selanjutnya ia pindah ke Solo dan sempat menjadi pemimpin
di madrasah Rabithah Alawiyah, setelah itu beliau berpindah lagi ke Jombang.
Disitulah ia bertemu dan berkenalan dengan KH. Hasyim Asy’ari yang di mana, mempunyai
cita-cita yang sama dengan Guru Tua untuk negara Indonesia.
Setelah berpindah dari daerah ke daerah lain
di pulau Jawa, dan melihat bahwa sudah banyak pondok pesantren dan ulama yang
tersebar. Guru Tua berpikir bahwa dakwah di pulau Jawa sudah cukup sehingga
memilih untuk pindah ke Kawasan Indonesia Timur, melanjutkan dakwahnya sampai
ke Maluku, NTT, Sulawesi dan sebagainya.
Kemudian Habib Idrus bin Salim Aldjufri mendapatkan
panggilan dari keluarganya di Manado yang memang sebelumnya sudah lebih dulu
bermukim di sana. Sebelum sampai di Manado, kapal yang ia naiki singgah di
Donggala, Palu yang dulu disebut dengan Celebes, lebih tepatnya di daerah Wani.
Saat itulah Guru Tua melihat keadaan Palu yang sangat kurang dalam hal
Pendidikan dan ilmu agama, ditambah lagi intensitas maksiat yang meningkat
secara signifikan, serta adanya kristenisasi yang disebarkan di daerah
tersebut.
Berangkat dari hal tersebut,
masyarakat-masyarakat yang ada di situ mengajak Habib Idrus bin Salim Aldjufri
untuk tinggal. Sehingga beliau tidak melanjutkan perjalanannya dan memilih
untuk tetap tinggal di Palu, kemudian melanjutkan dakwahnya di daerah tersebut
dan membangun sebuah madrasah yang bernama Al-Khairat. Beliau menghabiskan
seluruh umurnya untuk mengajar dan berdakwah di kota Palu ini hingga akhirnya
wafat pada 22 Desember 1969.
2. Guru tua penggagas merah putih dan ikut andil dalam perjuangan
kemerdekaan Indonesia.
Mungkin bagi sebagian orang sosok Guru Tua hanya
dikenal sebagai pendiri Al-Khairat, namun jika ditelusuri lebih dalam mengenai
rekam jejak hidupnya, sangat banyak fakta menarik yang ada dalam sosok Habib
Idrus. Salah satunya, ia adalah orang yang mengusulkan dan mengatakan bahwa
bendera Indonesia nantinya adalah merah dan putih. Bahkan terdapat sebuah syair
dari beliau berbahasa Arab yang artinya “Setiap umat itu mempunyai simbol
(lambang), dan lambang negara kita ini adalah Merah dan putih.”
Syair Bendera Merah Putih (Gambar: dok. Wawasan) |
Guru Tua adalah salah satu dari sekian ulama di
Indonesia pada saat itu yang berjuang untuk kemerdekaan, bersama KH. Hasyim Asy’ari, Habib
Al-Habsyi Kwitang, dan kyai-kyai lainnya. Fakta ini secara eksplisit
menggambarkan kecintaan Guru Tua terhadap Ibu Pertiwi, dan keinginannya yang
kuat untuk membebaskan Sang Garuda dari belenggu penjajahan.
Hal ini pun yang menjadi salah satu alasan
kuat mengapa kemerdekaan Indonesia tidak bisa terlepas dari perjuangan para ulama,
yang di mana salah satunya adalah Habib Idrus bin Salim Aldjufri.
Meski pada akhirnya sosok Guru Tua yang sempat
dicanangkan menjadi salah satu tokoh Pahlawan Nasional tidak terealisasikan
namun namanya masih bergema dan abadi di hati masyarakat khususnya Indonesia
Timur.
Sebagai bentuk penghormatan pada Guru Tua, nama bandara yang
ada di Kota Palu yang dulunya bernama Mutiara kemudian diubah menjadi Mutiara
SIS Al-Jufrie (SIS singkatan dari Sayyid Idrus bin Salim), tak hanya itu, untuk
mengenang jasa dan perjuangannya seluruh instansi Al-Khairat maupun masyarakat
Palu melakukan perayaan tiap tahunnya atau lebih dikenal dengan istilah Haul
Guru Tua.
3. Visi dan kecintaan Guru Tua terhadap pendidikan.
Pada sesi wawancara bersama Habib Muhammad bin
Shaleh Aldjufri, ia menjelaskan bahwa sosok Habib Idrus bin Salim melihat
pendidikan sebagai salah satu faktor yang penting dalam mencerdaskan umat.
Wawancara bersama Habib Muhammad ( Gambar: dok. Wawasan) |
Hal ini dapat kita lihat dari semangatnya
dalam mengajar, hingga diceritakan bahwa Guru Tua ini bisa mengajar di mana pun
dan dalam keadaan apapun. Hingga dalam perjalanannya dari kampung ke kampung
untuk menyebarluaskan ilmu agama, ia masih menyempatkan waktunya untuk mengajar
murid-muridnya di tengah perjalanannya yang menggunakan gerobak sebagai alat
transportasi.
Dapat pula ditemukan dalam gubahan-gubahan
syairnya, di mana ia banyak melantunkan bahwa Pendidikan itu penting dan
menjadi nomor satu. Hal ini jugalah yang menjadi dasar dan dorongan baginya untuk
membangun Madrasah Al-Khairat.
Dalam penuturannya, kita dapat memahami Guru
Tua merupakan salah satu dari sedikit orang yang menyadari bahwa dalam dunia
keilmuan, ilmu saja tidak cukup. Dibutuhkan juga atensi dalam aspek pengolahan
dan penyaluran ilmu tersebut, serta kreativitas dan kesabaran dalam menyalurkannya
agar dapat menjadi sesuatu yang bisa diterima dengan baik oleh masyarakat.
Selama hidupnya sosok guru tua tidak
meninggalkan karya-karya yang begitu banyak, akan tetapi yang menjadi warisan
terbesarnya adalah Al-khairat dan murid-muridnya itu sendiri. Peninggalan
beliau bukan kitab ataupun tulisan karya yang ada di buku, tapi karya-karya
yang berjalan yaitu murid-muridnya dan Madrasah Al-khairat yang ia tinggalkan.
Dari Guru Tua untuk Masisir
“Dengan ilmu dan ahlak engkau akan menggapai
cita-cita, kalau kau menginginkan itu semua makan jangan sombong.”
Syair tersebut adalah nasihat yang selalu
disampaikan oleh Guru Tua kepada setiap keturunan dan murid-muridnya, dan tidak
sedikit dari keturunannya yang melanjutkan pendidikan di Al Azhar sehingga nasihat-nasihatnya
memiliki potensi untuk disampaikan kepada para pelajar di Mesir. Apalagi kita
berangkat jauh untuk belajar dari Indonesia ke Mesir dengan misi utama yaitu
menuntut ilmu, yang mana Habib Idrus juga dalam syairnya pernah menyebutkan
nama Al Azhar.
Salah satu hal yang melekat pada sosok Guru Tua yaitu
misinya dalam mencerdaskan umat, hal ini jugalah yang patut mendapatkan
perhatian kita, para Masisir. Agar kita pulang nanti bukan hanya dengan sekadar
tangan kosong, layaknya buku kosong yang belum dicetak dan tidak bernilai
apa-apa, pun tidak seperti buku yang penuh dengan ilmu, namun hanya teronggok
di sudut rak yang tinggi, tak terlihat dan tergapai oleh siapapun, Melainkan Layaknya
perpustakaan, yang buku-bukunya bebas dibaca, dipahami, dicintai, dan memberi
banyak manfaat untuk orang-orang.