FeatureIntifInvestigasiMasisir

Pengurusan Visa Kolektif di Mesir, Privilege untuk Siapa Sebenarnya?

 

Ilustrasi Foto Paspor (Gambar: dok. Wawasan)

Wawasan, Kairo—Surat izin tinggal
atau yang biasa dikenal dengan Visa merupakan sesuatu yang sangat penting untuk
dimiliki oleh seseorang ketika mengunjungi suatu negara, terkhusus bagi
pelajar. Meski secara konkret bentuknya hanya merupakan sebuah kartu, akan tetapi memiliki peran vital untuk keamanan serta
kenyamanan pelajar tersebut, terutama dalam hal legalitas.

 

Namun, bagaimana jika sesuatu yang
harus dimiliki oleh setiap pelajar luar negeri tersebut, justru menuai banyak
problematika dari berbagai aspek? Mulai dari regulasi hingga biaya yang hingga
kini masih menjadi pertanyaan di benak masyarakat.

 

Kondisi inilah yang kurang lebih
dialami oleh Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) pada saat ini, di mana pertanyaan
terkait regulasi dan biaya yang semakin hari semakin menjadi-jadi dan tidak
kunjung mendapatkan jawaban yang memuaskan. Maka dari itu, Wawasan Mesir
melakukan beberapa penyidikan serta investigasi yang berujung pada hal-hal
berikut.

 

Klasifikasi Dana

Muhammad Choiry Alfikry yang
merupakan mandub (red—Perwakilan pengurusan visa) kekeluargaan
KKS menjelaskan bahwa Indonesia pada dasarnya termasuk negara dengan regulasi
pengurusan visa paling rapi di antara negara-negara lain yang warganya tinggal
di Mesir. Hal tersebutlah yang menjadi alasan pihak Gawazat (red—Keimigrasian
Mesir) menaikkan jumlah kuota pengajuan berkas untuk Indonesia dari 175 menjadi
400 berkas per minggunya.  

 

Seperti yang diketahui, biaya
pengurusan visa reguler adalah 630 EGP secara keseluruhan, dengan rincian 540
EGP untuk cetak kartu, dan 90 EGP untuk biaya administrasi Intif per berkasnya.
Untuk spesifikasi biaya adminitrasi itu sendiri, sesuai dengan yang
dipublikasian Intif sebagai tim pengurusan izin tinggal kolektif
pelajar/mahasiswa Al-Azhar Indonesia di Mesir di platform instagramnya per tahun
2021 adalah sebagai berikut:

Beban gedung: 9 EGP

Perlengkapan kantor: 7 EGP

Tasdik: 2 EGP

Biaya perjalanan: 25 EGP

Konsumsi: 19 EGP

Gaji pegawai: 28 EGP    

 

Screenshot Modul Intif (Gambar: Instagram Intif Mesir)

Sekilas rincian jumlah di atas
bisa dimasukkan dalam kategori masuk akal dan normal. Namun, jika diperhatikan
dengan lebih saksama, melihat jumlah berkas disetorkan ke Intif tiap pekannya,
yang mencapai angka 400 berkas, kita akan menemukan beberapa kejanggalan yang menimbulkan
berbagai pertanyaan.

 

Misalnya, dalam daftar di atas
disebutkan biaya perjalanan sebesar 25 EGP, perlu diingat bahwa penentuan biaya
ini ditetapkan untuk setiap berkas yang masuk, yang artinya jika dalam seminggu
ada 400 berkas yang dieksekusi, maka biaya transportasi Intif dalam sepekan
adalah 25 EGP x 400 berkas, yang hasilnya mencapai 10.000 EGP hanya untuk
transportasi dalam seminggu.

 

Transportasi menjadi salah satu
dari sekian transparansi yang terkesan tidak spesifik dan alih-alih memberikan
jawaban, malah melahirkan pertanyaan baru di kepala. Meskipun pada dasarnya hal
ini tidak memiliki kadar urgensitas yang tinggi, akan tetapi mengingat jumlah
keseluruhannya mencapai angka yang cukup banyak, sudah sepatutnya diperlukan
alokasi yang lebih rinci perihal transparansi tersebut.

 

Pertanyaan selanjutnya, apakah
kuota 400 berkas tersebut akan terus terpenuhi? Melalui penuturan mandub dari
tiga kekeluargaan yaitu KKS, FOSGAMA, dan KPMJB, ketiganya mengonfirmasi bahwa
kuota pengajuan berkas yang ditentukan oleh pihak Intif untuk tiap kekeluargaan
per minggunya selalu full. Bahkan, jika ada kekeluargaan yang kuotanya
tidak terisi, akan digantikan oleh berkas dari kekeluargaan yang lain. Yang
artinya, kuota 400 per minggu tersebut kemungkinan besar akan terus terpenuhi.

 

Bagaimana dengan Ekspres?

Sebelum mengulik jauh lebih dalam
perihal ekspres, pada dasarnya jalur ini bisa dimasukkan dalam kategori inovasi
yang sangat membantu dalam dunia per-visa-an. Bagaimana tidak, pengurusan visa
yang biasanya terkesan ribet dan lambat, bisa berubah 180 derajat saat
mengambil jalur ekspres, yang di mana sistem dan rentang waktu dari awal  taqdim (pengajuan berkas) hingga taslim
(keluarnya visa) menjadi sangat mudah dan cepat.

 

Namun, kemunculannya di
pertengahan tahun 2021 lalu justru menuai begitu banyak pro dan kontra. Dikarenakan hadirnya jalur
ekspres tersebut diikuti oleh beberapa kebijakan yang mengundang berbagai
pertanyaan serta rasa skeptis masyarakat, termasuk perihal kenaikan dana dan
jumlah kuota yang lebih mendominasi dibandingkan kuota reguler.

 

Rif’at Zaky selaku supervisor
Intif menjelaskan perihal menipisnya kuota reguler itu sendiri, ia mengaku
sudah membaca gerak-gerik dari pihak Gawazat bahwa akan ada penghapusan kuota
reguler.

 

“Dan ke depan saya yakin walaupun
ini belum kita dengar ya, cuma dari gerak-gerik yang kita lihat dari pihak
imigrasi ini, saya yakin tahun depan udah nggak ada jalur reguler,” ungkapnya.

 

Hal tersebut juga diamini oleh
beberapa mandub yang sempat kami
wawancarai. Zaki bercerita bahwa pada awalnya kuota reguler itu sudah dihilangkan.
Cuman, supaya terlihat tidak dihilangkan, akhirnya disisakan sekali taqdim
sebanyak 50 berkas reguler. Namun, yang menjadi masalah adalah kartu taslim reguler tersebut selama 4 bulan tak
diketahui keberadaannya.

 

Akhirnya, dengan tujuan agar kuota
reguler ini tetap bertahan, pihak Intif—dari penuturan Zaki— berinisiatif untuk
melakukan rapat bersama sekaligus mencari solusi dengan seluruh gubernur
kekeluargaan. Karena pihak Gawazat yang memberikan kuota “jalur cepat” ini
justru lebih banyak, maka pihak Intif sendiri memberikan dua buah solusi pada
forum tersebut, yaitu kuota reguler tetap ada, namun hanya 50 berkas saja atau
jalur cepat ini diberikan kuota yang tidak dibatasi sama sekali. Karena
sebelumnya pernah terjadi pengurusan 200 berkas di jalur ekspres ini, dan tidak
selesai dalam jangka waktu yang dijanjikan oleh Gawazat, maka keputusan dalam
forum tersebut menyetujui dengan diadakannya pengurusan berkas ekspres
besar-besaran.

 

Hal tersebut dilakukan agar dapat
melihat kinerja pihak Gawazat dalam mengeksekusi jalur ekspres tersebut. Juga
sebagai ultimatum untuk pihak Gawazat, yang di mana ketika kinerja jalur
ekspres tidak sesuai dengan yang diharapkan, Intif akan punya alasan kuat untuk
menolak pengadaan jalur ekspres.

 

“Akhirnya 800 berkas tembus dan
keluar tepat waktu, tidak pernah molor sama sekali. Bahkan, kita nambah di
minggu pertama dan kita harus menerima berkas di masa ujian,”  jelasnya. 

 

Ilustrasi Visa (Gambar: dok. Wawasan)

Untuk biaya antara jalur reguler
dan jalur ekspres diketahui ada kenaikan yang cukup signifikan, yaitu dari
angka 630 EGP menjadi 880 EGP. Ada kenaikan 250 EGP di mana 220 EGP merupakan
biaya administrasi Gawazat, sementara untuk Intif sendiri meningkat sebanyak 30
EGP, dari yang awalnya 90 EGP menjadi 120 EGP.

 

Namun, anehnya adalah dari pihak
Intif sendiri belum memberikan alasan serta spesifikasi tentang alokasi
kenaikan biaya administrasi tersebut. Apakah jalur ekspres yang merupakan
inovasi dari Gawazat juga memberikan beban tambahan pada pihak Intif  sehingga biaya operasionalnya perlu ditambah?
Belum lagi biaya yang awalnya saja sudah menimbulkan banyak pertanyaan malah
mengalami kenaikan yang tidak diiringi penjelasan sama sekali. Ditambah menipisnya
kuota jalur reguler sangat memperburuk suasana di kalangan masyarakat Indonesia
di Mesir.

 

Status Kelembagaan

Dalam sesi wawancara bersama kru
Wawasan, pada Ahad, 13 Maret 2022, Zaki mengonfirmasi bahwa pada dasarnya Intif
bersifat independen, dalam hal ini berarti tidak berada di bawah lembaga
kemasisiran apapun, tak terkecuali PPMI Mesir. Ia juga menjelaskan bahwa secara
prosedur tidak ada bedanya Intif berada di bawah PPMI atau tidak, karena
jikalau pun ada berkas yang bermasalah, PPMI tidak akan bisa mengurusnya.

 

“Ketika berada di bawah Presiden
PPMI, mereka juga tidak mendapatkan kartu mandub jadi mereka untuk masuk
ke dalam imigrasi pun tidak bisa,” lanjutnya.

 

Zaki pun membenarkan bahwa sudah
beberapa kali PPMI mencoba untuk menjadikan Intif di bawahnya secara struktural.
Namun, berdasarkan pertimbangan serta tinjauan di atas, ia menilai tidak ada
keuntungan serta kerugian apa pun yang diperoleh jikalau hal itu terealisasi.
Ia pun mengungkapkan bahwa sebenarnya lebih mudah bekerja dengan status
independen.

 

“PPMI mustahil akan sanggup
mengurusi visa dengan kesibukannya yang banyak,” tuturnya.

 

Ia juga memaparkan bahwa kartu mandub,
yang dimaksud tersebut langsung dikeluarkan oleh Pemerintah Mesir. Itulah juga
alasan mengapa hingga tiga generasi, kepengurusan Intif tetap dipegang oleh
orang-orang yang sama.

 

Namun, yang menjadi pertanyaan di
kalangan Masyarakat Indonesia di Mesir adalah bagaimana sistemasi struktural
yang mengatur, memantau, serta menjamin keabsahan data dan laporan-laporan
pertanggungjawaban dalam Intif itu sendiri? Kalau pun ada, mengapa masyarakat
tidak diberi tahu sama sekali?  Tidak
adanya transparansi struktural, di mana masyarakat bisa mengetahui siapa yang
menjamin keabsahan laporan pertanggungjawaban yang diunggah, melahirkan
berbagai keraguan yang dapat mengurangi validitas laporan tersebut.

 

Namun, kembali ke pertanyaan sebelumnya,
apakah secara struktural Intif memiliki lembaga seperti itu? Pun kalau misalnya
ada, apa standarisasi yang ditetapkan dalam penentuan serta penetapan
kewenangan anggota dalam bagian tersebut? Hal tersebutlah yang mencoba kami
perjelas namun pihak Intif sendiri menolak untuk diwawancarai.

 

Hingga tulisan ini diunggah di website Wawasan, belum ada respons serta
jawaban sama sekali dari pihak terkait perihal isu-isu yang ada. Apakah ada
yang salah? Apa ada yang disembunyikan? Mengapa rakyat tidak diberi tahu secara
spesifik ke mana uang mereka semua bermuara?

 

(Tim Investigasi Wawasan: Ryan,
Ichsan Semma, Mugni, Annisa)

 

Artikel Terkait