Oleh: Muhammad Said Anwar |
7 – Pahamilah
Ketika Faiz sudah menampakkan dirinya di hadapan ayah dan ibunya, keduanya cukup terkejut.
“Wah, kamu melanggar apa?” Kata ayah dan ibu Faiz.
“Yah, begitulah bu. Dan kayaknya juga sudah jelas. Saya terlambat dan rambut saya ketahuan panjang” kata Faiz.
“Oh, baguslah. Memang kau yang salah” kata ayah Faiz.
Faiz cukup heran, mengapa ayah dan ibunya tidak melakukan tindakan lebih lanjut? Tidak seperti teman-temannya kalau ada dikena hukuman, maka ayah dan ibunya datang menuntut ke sekolah.
“Hanya itu bu? Tidak ada reaksi lanjutan?” Kata Faiz.
Tiba-tiba Faiz langsung ditampar oleh ayahnya.
“Kau sadar tidak?!” Gertakan ayah Faiz.
“Iya ayah, Faiz mengaku salah” kata Faiz dengan wajah menunduk.
“Saya tau, kau mau saya dan ibumu menuntut ke sekolah seperti teman-temanmu. Kau ini laki-laki nak! Kau harus bertanggung jawab atas semua perbuatanmu. Kalau kau salah, tanggunglah! Kalau kau tidak mau, berhentilah menjadi laki-laki” kata ayah.
Faiz, yang pikirannya begitu kritis kali ini jatuh terbawa perasaan tak bersalahnya. Memang, sesalah-salahnya manusia, ia tak mau disalahkan. Tapi bagaimana pun, seseorang harus selalu sadar diri.
Tiba-tiba suasana yang tadinya tegang menjadi hening.
Sang ayah pun menasehati “Nak, saya sudah tau kalau kau itu memang suka berpikir. Sekarang pakailah akalmu! Apakah bisa dikatakan seseorang itu benar ketika membela orang yang salah? Ingat nak! Kebebasan tak terlepas dari tanggung jawab. Jika kau tidak mau bertanggung jawab, maka kau juga harus menerima hak asasi kebebasanmu dicabut”.
Faiz hanya terdiam dan ayahpun melanjutkan:
“Nak, banyak anak zaman sekarang, mereka bersalah, lalu orang tuanya turut membelanya dalam kesalahannya. Ya, memang terkadang orang tua membela anaknya, sesalah apapun. Tapi coba tanya dirimu, di hati yang paling dalam, apakah membela sesuatu yang salah itu boleh?”.
“Tidak..” kata Faiz.
“Nah, kau sudah paham. Siapapun itu, kalau ia bersalah tetaplah salah. Nak, kau tau kenapa adab seorang murid kepada gurunya berkurang? Karena didikan adab itu sendiri ditentang oleh murid dan orang tuanya. Padahal yang harus ditentang adalah sikap ketidakberadaban itu sendiri. Saya sebagai ayahmu, tentu kalau ditanya “apakah anda membela kebenaran?” Saya pasti menjawab “ya”. Tapi tahukah kamu nak? Sebuah ucapan itu, harus dibuktikan dengan perbuatan. Kalau tidak, maka itu hanyalah omong kosong”. Nasehat ayah.
Faiz mengangguk petanda bahwa ia paham semua penjelasan ayahnya.
“Ayah, aku mau bertanya” kata Faiz.
“Apa itu?” Kata ayah.
“Kenapa orang tua memiliki pandangan berbeda-beda? Apakah setiap anak harus tunduk kepada orang tuanya meskipun ia salah?” Tanya Faiz.
Sebenarnya, pertanyaan ini mudah dijawab, tapi permukaan pertanyaan ini sangat kasar. Tentunya ayah Faiz agak tersinggung dengan pertanyaan Faiz. Tapi mau tidak mau, pertanyaan anak muda itu harus dijawab. Supaya tidak ada lagi hal-hal janggal bagi anak muda. Wajar pertanyaannya kritis, karena usia anak muda adalah usia kritis.
“Begini nak, setiap manusia memiliki pandangan yang berbeda-beda, dan itu pasti lagi niscaya. Setiap orang berhak berpendapat, tapi catat ini baik-baik, tidak semua pendapat benar dan layak dihargai. Seperti misalnya ada orang tua berpendapat bahwa apapun yang kau lakukan sebagai anak itu benar! Tapi, bukan berarti seseorang akan terus benar berdasarkan statusnya. Seperti anak ini misalnya. Misalnya lagi, ada anak memiliki pendapat bahwa melawan guru itu boleh. Apakah pendapat seperti ini bisa dikatakan benar dan dihargai? Tentu tidak. Semua orang yang berakal sehat pasti menolaknya” jawab ayah.
“Lalu bagaimana ayah dengan keharusan tunduk kepada orang tua?” Tanya Faiz lagi.
“Harus saya akui, sebenarnya pertanyaanmu ini menyakitkan bagi sebagian orang yang tidak memahami secara mendalam, ia akan menganggap kalau kamu ada niat melawan orang tua ataupun guru. Saya paham, maksud kamu bukan begitu. Kadang memang orang tua dan anak, memiliki pandangan berbeda. Maka yang orang tua lakukan adalah menghadirkan sikap terbuka, bukan menutup mata atas celah pada pikirannya. Anak pun bisa menyampaikan pendapatnya kepada orang tua dengan cara yang baik. Pasti di dengar. Dengan kata lain, seorang anak dan orang tua, harus saling connect. Tidak boleh ada sikap diktator, ataupun anti dalam mendengarkan pendapat. Kalau ada yang demikian, itu adalah sikap yang kejam!” Kata ayah Faiz.
“Jadi orang tua yang demikian bisa dilawan yah?” Tanya Faiz.
Dengan sedikit tersenyum, sang ayah menjawab “Hmm, melawan orang tua bukanlah sikap yang tepat. Sekali lagi, ketika kau memiliki pandangan yang beda, maka tindakan yang paling tepat adalah musyawarah, atau bicarakan baik-baik. Karena kekerasan tak harus ada dalam sebuah penyelesaian”.
“Iya juga yah” kata Faiz dengan senyum.
Faiz merasa bangga, karena memiliki ayah yang kritis dan proporsional dalam bertindak. Sikapnya yang begitu terbuka, dapat membuat orang memahami apa yang ada di pikirannya. Faiz yang sempat berprasangka buruk terhadap ayahnya pun berubah menjadi bangga.
“Yaudah, kamu mandi dulu sana, bajumu itu kotor, banyak bekas potongan rambutnya. Dan ingat ya, saya sengaja tampar kamu untuk menguji kelaki-lakianmu. Ternyata kamu memang anakku yang pemberani”. Kata ayah dengan senyum.
Faiz pun masuk ke dalam kamar dengan semangat memperbaiki diri. Faiz yang tadinya merasa sial kena hukuman, kini dia merasa beruntung karena kena hukuman. Sebab dia mendapatkan pelajaran berharga.
Faiz bersiap-siap mandi, ia mengambil handuk lalu membuka bajunya. Ia pun berjalan menuju ke kamar mandi. Air sedikit demi sedikit diambilnya di timba untuk disiramkan ke badannya.
Saat kondisi rileks, ada sebuah ide yang mendarat di kepalanya “Kalau begitu, semua pertanyaanku kuajukan saja kepada ayahku! Dia bisa menjawab pertanyaanku!”.
Setelah mandi, Faiz mengambil selembar kertas lalu menulis list pertanyaannya.
“Apakah ayah akan menjawab semua pertanyaanku?”. Tanya Faiz dalam hatinya.
Bersambung….