DeradikalisasiIslamiaKeilmuanOpini

Deradikalisasi; Melawan Radikalisme Agama dengan Pesantren

 

Deradikalisasi; Melawan Radikalisme Agama dengan Pesantren

Muhammad Alim Nur

Mahasiswa Universitas Al-Azhar, Mesir

Gmail: cairoalim1999@gmail.com

Abstrak

Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang telah memainkan perannya dalam perkembangan bangsa. Tulisan ini akan menyajikan tentang pentingnya peran pesantren dalam proses deradikalisasi dengan melihat aspek sosio-historisnya, serta problem solving-nya. Pemahaman kepada nash yang hanya memperhatikan aspek tekstual saja tanpa mempertimbangkan aspek kontekstualnya akan melahirkan pemahaman yang tidak komprehensif. Sehingga muncul aksi-aksi radikalisme yang akan menghambat terwujudnya kerukunan antar umat beragama. Pesantren dalam sejarahnya telah menjadi benteng pertahanan dan garda terdepan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, maupun dalam membangun kerukunan beragama. Melihat tradisi keilmuan dan keagamaan di dalam pesantren, maka hal ini bisa membentengi dan melawan pemahaman Radikalisme Agama di Indonesia. 

Keywords: Deradikalisme, Radikalisme, Pesantren.

Pendahuluan 

Secara umum gejala radikalisme agama adalah hal yang sangat mengkhawatirkan di tengah masyarakat, terlebih lagi sudah mulai banyak menggerogoti kaum muda-mudi. Radikalisme agama seperti yang kita ketahui, sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat maka dibutuhkan deradikalisasi sedari dini untuk mencegah menyebarnya radikalisasi agama. Perjuangan memberantas radikalisme agama adalah perjuangan yang sangat berat, seperti halnya  dengan membebaskan diri dari pengaruh kecanduan narkoba. Proses deradikalisasi yaitu dengan berjuang membersihkan pikiran dari pengaruh ajaran ekstrim, radikal, eksklusif, jumud, dan kaku. Antara  memberantas radikalisme agama dan memberantas diri dari kecanduan narkoba memiliki kesamaan, yaitu pelakunya sama-sama tidak sadar kalau sedang kecanduan dan sama-sama membawa efek kehancuran pada diri sendiri dan juga berpotensi menghancurkan orang lain.

Dalam pandangan International Crisis Group, deradikalisasi adalah proses meyakinkan kelompok radikal untuk meninggalkan pengguna kekerasan, program ini juga bisa berkenaan dengan proses menciptakan lingkungan yang mencegah tumbuhnya gerakan-gerakan radikal dengan cara menanggapi ‘Root Causes’ (akar-akar penyebab) yang mendorong timbulnya aksi-aksi ekstrem. Belum ada kesepakatan tunggal tentang hal-hal yang menjadi faktor penyebab lahirnya sikap dan tingkah laku radikal. Tapi kalau kita lihat Indonesia dalam konteks sekarang, isu radikal lebih di alamatkan kepada agama Islam. Saat ini agama Islam sedang dipandang sebagai agama yang kurang menghargai kreatifitas atau mengekang kebebasan, karena masih ada perilaku umat Islam yang intoleran sebagai pemicu munculnya konflik antarumat beragama, bahkan intern umat beragama mengakibatkan rusaknya sendi-sendi kehidupan yang damai dan tentram. Isu radikalisme agama yang mengatasnamakan agama menjadi persoalan bangsa kita saat ini. Munculnya kelompok yang mengamalkan ajaran agama yang eksklusif, memantik munculnya sikap intoleran dalam segala hal sehingga bisa mengarah ke pemikiran dan perilaku radikalisme bagi pemeluk agama. Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan karena akan mengganggu stabilitas Negara Indonesia. 

Radikalisme agama dimulai dari cara memahami agama dengan sempit, tekstual, mengikat, intoleran, dan mengarah kepada revolusi. Radikalisme keagamaan juga di artikan sebagai gerakan keagamaan yang berusaha untuk merombak secara total suatu tatanan politis dan tatanan sosial yang berlaku dengan menggunakan kekerasan. Dampak yang ditimbulkan dari munculnya radikalisme, yaitu terbentuknya politisasi di dalam beragama, dimana agama pada dasarnya sangat sensitive sifatnya, paling mudah terbakar fanatisme bahkan menjadi kipas paling kencang untuk melakukan berbagai tindakan yang sangat keras di dalam kehidupan sosial, individu bahkan kelompok sehingga akan terbentuk Islam yang radikal.  Radikalisme memiliki hubungan dengan konservatisme yang di mana seseorang merasa benar sendiri, dan memproklamirkan bahwa diri dan kelompoknyalah yang memiliki otoritas untuk menilai orang lain di luar diri dan kelompoknya. Seakan hanya dirinyalah yang diberikan hidayah sedang yang lain berada dalam jalan kesesatan. Dan merasa jumawa sehingga dengan mudahnya memberikan atribut sesat kepada orang yang berbeda pandangan dan interpretasi keagamaan dengan dirinya.

Di saat paham radikalisme sudah mulai menyebar, maka pesantrenlah tempat yang paling aman untuk masyarakat terlebih lagi generasi muda saat ini. Ideologi harus dilawan dengan penguatan ideologi, pemikiran harus dilawan dengan pemikiran, karena kemenangan sejati adalah kemenangan argumentatif. Di pondok-pondok pesantren, di sana akan diajarkan paham dan pemikiran keagamaan yang moderat, seimbang, toleran, kritis, dan universal. Radikalisme Agama bisa diatasi dengan memberikan pemahaman agama yang terbuka seperti yang diajarkan di pondok-pondok pesantren. Melalui lembaga pengajaran pesantren baik itu pesantren  tradisional maupun modern, dimana Islam di pelajari secara komprehensif, mendalam, lintas mazhab, dan ikhlas.

Pesantren dengan sejarahnya telah berhasil mencetak dan melahirkan generasi bangsa yang cerdas, toleran, dan inklusif. Pesantren adalah simbol inklusifisme dan moderatisme keagamaan di mana Islam diajarkan dengan pemahaman yang benar dan terbuka. Islam yang mengajak bukan menginjak. Islam yang merangkul bukan memukul, Islam yang rahmah dan penuh rahmat, bukan Islam yang marah-marah sambil teriak kafir dan sesat. Di pesantren akan diperkenalkan bagaimana memahami Islam dengan rasional bukan emosional, Islam kultural bukan radikal, Islam yang membina bukan Islam yang menghina, Islam yang memberi pandangan bukan memaksakan pemahaman.

Hal yang menjadi ancaman yang dapat merusak generasi muda bangsa ini salah satunya adalah narkoba, pornografi, radikalisme agama, dan terorisme. Paham Islam Radikal sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat dan deradikalisasi adalah tembok besar dalam mewujudkan Islam rahmatan lil alamin, Islam yang penuh rahmat dan mendamaikan.

Pembahasan

Membahas masalah deradikalisasi maka tidak terlepas dari pembahasan radikalisme dan terorisme, karena keduanya saling terkait dan upaya deradikalisasi muncul disebabkan oleh keduanya. Terorisme merupakan tindakan yang memiliki akar keyakinan, doktrin, dan ideologi yang dapat menyerang kesadaran masyarakat, sedangkan radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme. 

Radikalisme merupakan suatu sikap yang menghendaki perubahan secara total dan bersifat revolusioner, dengan memutarbalikkan nilai-nilai yang secara drastis melalui jalan kekerasan dan aksi-aksi ekstrem. Ada beberapa ciri, sikap, dan paham radikal; 1. Intoleran (tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain), 2. Fanatik (merasa benar sendiri, menganggap orang lain salah), 3. Ekslusif (tertutup atau membedakan diri dari umat islam lainnya), 4. Revolusioner (cenderung memakai cara kekerasan untuk mencapai tujuan). 

Beberapa ciri di atas dapat diidentifikasi varian radikal: 1. Kaum Takfiri, yang menganggap selainnya adalah kafir, berbeda pandangan langsung vonis kafir.  Ini adalah radikal dalam keyakinan. 2. Kelompok Jihadis, yang membunuh orang lain atas nama Islam. Kelompok ini biasanya disebabkan karena pemahaman yang dangkal dan sempit dalam beragama. Kemudian bergabung dalam satu kelompok yang berpandangan radikal, kemudian menerima dan dijejali doktrin yang keras sehingga berimplikasi pada tindakan keras yang menganggap orang lain salah dan harus dimusnahkan, kelompok ini adalah radikal dalam tindakan. 3. Kelompok yang ingin mengganti ideologi negara dengan menegakkan Negara Islam atau Khilafah, ini adalah  radikal  dalam politik.

Seseorang yang memiliki sikap atau pemahaman radikal saja tidak mesti menjadikannya terjerumus dalam paham atau aksi terorisme. Ada faktor lain yang mempengaruhi seseorang sehingga terjebak dalam jaringan terorisme: 1. Faktor Domestic, yakni kondisi dalam negeri seperti kemiskinan, ketidakadilan, atau merasa kecewa dengan pemerintah. 2. Faktor Internasional, yaitu pengaruh lingkungan luar negeri yang mendorong timbulnya sentimen keagamaan seperti ketidakadilan global dan politik luar negeri yang arogan. 3. Faktor Kultural, yang terkait dengan pemahaman agama yang dangkal dan penafsiran kitab suci yang sempit dan tekstual. Sikap dan beberapa faktor di atas seringkali menjadikan seseorang memilih untuk bergabung dengan aksi dan jaringan terorisme.

Deradikalisasi merupakan tindakan preventif kontraterorisme atau strategi untuk menetralisir paham-paham yang dianggap radikal dan berbahaya, dengan cara pendekatan tanpa kekerasan. Tujuan deradikalisasi ini untuk mengembalikan para aktor terlibat yang memiliki pemahaman radikal untuk kembali ke jalan pemikiran yang lebih moderat. Muhammad Rapik mengungkapkan bahwa moderasi dapat dikatakan merupakan jalan atau beragama yang dewasa, yakni kesiapan bersanding dengan orang yang berbeda keyakinan dan berbeda paham. Hal ini mengharuskan penganutnya agar lebih fokus pada kesamaan bukan pada perbedaan. Sikap moderat dalam beragama ditunjukkan dengan cara-cara berpikir dan bertindak dan mengambil jalan  Tawassut (Moderat), Tawazun (Keseimbangan), I’tidal (Jalan Tengah), dan Tasamuh (Toleran), sesuai dengan misi Islam yang diturunkan ke muka bumi yakni rahmatan lil alamin.

Dalam upaya deradikalisasi, maka pesantrenlah yang paling efektif dalam mengatasinya, karna di dalamnya diajarkan agama Islam yang ramah dan rahmah. Memaksimalkan potensi yang dimiliki pondok pesantren sebagai langkah konkret gerakan deradikalisasi menjadi solusi saat ini, dan tentunya juga dibutuhkan sinergitas antar semua elemen agar semakin mempercepat langkah deradikalisasi agama. Karenanya sebagai umat beragama yang baik harus bersungguh-sungguh dalam rangka mengamalkan ajaran agama yang sejuk, agama yang moderat, agama yang dinamis, agama yang damai, agama yang toleran dan agama yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian dan peradaban. Pesantren sebagai pionir perubahan dan gerakan deradikalisasi agama dengan konsep moderasi beragama.

Pesantren sebagai lembaga yang dekat dengan kehidupan masyarakat menjadi controller dinamika sosial mengingat peran pesantren dalam mengajarkan agama islam sangat besar. Dalam sejarahnya, sejak tahun 1200 M seperti yang di sebutkan Prof. Johns bahwa pesantrenlah yang paling menentukan watak kerajaan-kerajaan Islam. Kemudian sejarah juga menyebutkan bahwa pesantren adalah salah satu sendi utama bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan dan menginisiasi integrasi agama Islam dengan pemahamannya yang moderat, terutama di kawasan timur Indonesia. 

Ada tiga pesantren “tua” di Sulawesi yang memiliki pengaruh dan menjadi elemen penting dalam konteks moderasi dan pembangunan bangsa, pesantren yang di maksud adalah pesantren Al-Khairat yang berbasis di Palu, Sulawesi Tengah, Pesantren As’adiyah yang berbasis di Sengkang, Sulawesi Selatan, dan Pesantren DDI (Darul Dakwah wal Irsyad) yang berbasis di Barru, Pinrang, dan Pare-Pare, Sulawesi Selatan, tiga pesantren ini memiliki jaringan yang cukup kuat di kawasan timur Indonesia.

Al-Khaerat menjadi isu penting dibicarakan dalam konteks Sulawesi Tengah tanpa bermaksud mengabaikan organisasi massa Islam lainnya seperti NU dan Muhammadiyah. Al-Khaerat telah demikian berhasil mengembangkan satu sistem norma Islam yang berangkat dari cara berfikir Islam yang moderat. Lembaga pendidikan Al-Khaerat yang berjumlah ribuan di kawasan timur Indonesia khususnya di Sulawesi Tengah, Manado, Maluku dan Maluku Utara menjadi pilar penting dalam pembentukan generasi muslim Indonesia yang moderat.

Adapun sebagai contoh peran pesantren dan ulama Sulawesi Selatan dalam mencegah radikalisme adalah dengan menolak akan di dirikannya Darul Islam atau Negara Islam. Kahar Muzakkar sebagai pendiri Darul Islam (Negara Islam) yang mencoba mempromosikan ke umat Islam di Sulawesi Selatan, salah satu cara yang dilakukan oleh Kahar Muzakkar adalah merekrut ulama Sulawesi Selatan sebagai bagian dari pemerintahannya. Beberapa ulama dibawa paksa masuk ke hutan untuk dijadikan sebagai menteri, ulama yang sempat dibawa adalah KH Abdurrahman Mattammeng, KH. Abdurrahman Ambo Dalle, KH. Junaid Sulaiman, KH. Rafi Sulaiman dan beberapa ulama lainnya. Ulama-ulama As’adiyah secara tegas menolak keberadaan DI/TII. Mereka tidak bersedia diajak untuk menjadi bagian dari DI/TII, hal ini sebagai bentuk pencegahan dalam radikalisme yang dilakukan oleh Kahar Muzakkar.

Mengapa para ulama Sulsel menolak DI/TII? Para ulama ini sudah khatam dengan “fiqhu siyasah”. Politik dalam pengertian semua madzhab Sunni adalah perilaku yang tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad (Ahmad Baso, 2013). Politik yang dipahami oleh para ulama nusantara yang berhaluan Syafi’ian adalah politik berbasis kemaslahatan umat. Pembentukan Negara Islam adalah ijtihadi, bukan dharuri. Pilihan, bukan kewajiban syar’i. Kalaupun dilakukan harus dengan tujuan utama (maqasid syar’i) kemaslahatan umat bukan bentuk negara. Itulah sebabnya, ulama Indonesia tidak memiliki pemahaman untuk memformalkan agama sebagai bentuk Negara.

Pesantren Al-Khaerat, Pesantren As’adiyah, Pesantren DDI (Darul Dakwah wal Irsyad), dan pesantren lainnya telah membuktikan diri sebagai bagian penting dalam perjalanan memelihara ideologi dan wacana keislaman yang berkesesuaian dengan visi kebangsaan Indonesia. Alumni pesantren ini menjadi bagian dari penyebar model keislaman moderat yang menyebabkan wacana keislaman di Indonesia berjalan pada alur moderatisme dan lentur terhadap perubahan sosial yang terjadi dari masa ke masa. 

Kesimpulan

Bagaimanapun dan dari kelompok agama manapun, gerakan radikalisme tidak bisa dibenarkan dan ditolerir. Maka dari itu, peran pesantren sangat dibutuhkan. Dan semua elemen bangsa ini harus bergerak bersama untuk menangkal dan melawan arus radikalisme yang semakin gencar di era media sosial.

Terkait dengan program deradikalisasi agar bisa optimal, maka perlu diperhatikan beberapa hal. Pertama, progam deradikalisasi harus di lakukan secara terus menerus dan sungguh-sungguh. Dengan demikian tidak ada celah bagi kelompok radikal untuk melakukan aksinya di negeri ini. Maka dengan demikian program deradikalilsasi akan dapat terlaksana dengan baik dan optimal.

Kedua, program deradikalisasi dalam arti luas sebenarnya juga perlu ditanamkan kepada anak anak sejak dini. Upaya ini dimaksudkan agar deradikalisasi bisa menginternalisasi dalam diri anak. Lebih dari itu pembentukan karakter cinta tanah air perlu ditanamkan kepada generasi muda sejak usia dini, dengan demikian kedepannya anak bangsa ini sudah punya pemahaman baik tentang cinta tanah air, hidup damai, bersikap moderat, bersikap toleran, dan karakter-karakter positif lainnya.

Ketiga, program deradikalisasi yang khusus ditujukan kepada pelaku teror, maka perlu dilakukan dengan pendekatan pesuasif. Karena pada dasarnya mereka tersesat, karena itu perlu dibimbing, dan diluruskan, serta diarahkan ke pemahaman yang moderat dan toleran.

Oleh karena itu, peran pesantren sangat penting dan dibutuhkan dalam mengatasi hal ini, dengan melalui tradisi yang dikembangkan di pesantren, yaitu tradisi keilmuan dan keagamaan yang mengintegrasikan pemahaman teks dan konteks terbukti telah melahirkan orang yang berjiwa tasamuh, toleran dan pemahaman yang moderat.

Daftar Pustaka

Hamzah harun Al Rasyid dan Saprillah, ‘Kekerasan atas Nama Agama’.Yogyakarta 

(CV. Panrita Global Media,2017.)

Subbag Informasi Dan Humas Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Tengah, ‘Moderasi Dan

Deradikalisasi Agama’,( Semarang,2019.)

International Crisis Groeup, ‘Deradikalisasi dan Lembaga Pemberdayaan Permasyarakatan di Indonesia, Asia. (Report N 142- 19 November 2017.) Hal 1.

Nunung Lasmana, Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusian ‘Deradikalisasi Agama melalui   Pesantren’.

Sartono Kartodirjo, “Ratu Adil”, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985) dikutip dalam Zainuddin Fatanie,

Atiqa Sabardila, dan Dwi Purnanto, ‘Deradikalisme Keagamaan dan Perubahan Sosial’ 

(Surakarta: The Asia Foundation, 2001.)

Rapik Mohammad. 2014.’Deradikalisasi, Faham Keagamaan, Sudut Pandang Islam, Inovatif’.

Lisa, Emma. 2014. ‘Islam dan Radikalisme’. 

  

  

Artikel Terkait