e-WawasanOpiniWawasan

MAHASISWA DAN BUDAYA APATIS



Saat berbicara tentang mahasiswa maka potret yang akan pertama kali muncul di benak kita adalah sosok intelek muda yang berintegritas, ramah, kritis, logis, idealis serta berjiwa sosial yang revolusioner. Seorang yang peka serta peduli terhadap realitas di sekitarnya, visioner dan kaya akan ide solutif terhadap problematika masyarakat. Tak salahlah jikalau mahasiswa disebut sebagai Agent of Change, atau Iron Stock. 

Tinta emas sejarah telah mengukir jasa-jasa para mahasiswa terhadap pembangunan negeri ini, perubahan yang bersumber dari ide-ide kreatif disertai jiwa keberanian dan kepribadian luhur mengantarkan peran mahasiswa kepada puncak kejayaannya, terutama saat peristiwa reformasi tahun 1998.

Namun sayang fakta yang ada kini justru ‘menghianati’ sejarah gemilang itu. Sosok yang digambarkan tadi hanya sebatas bunga-bunga tidur dari mimpi indah yang fana. Indah dikala terlelap namun menyakitkan saat terbangun dan tersadar. Sosok yang disebut-sebut Agen of Change tadi kini berubah menjadi ‘agen of cuek’. Jiwa sosialis dan progresif mereka kini bertransformasi menjadi hedonis dan pragmatis.

Diantara sebab menjadikan mahasiswa demikian karena mahasiswa kini telah dimanjakan dengan beranekaragam gadget dan sosial media yang menyita banyak waktu dan perhatian mereka. Hal ini menjadikan sebagian besar dari mereka lupa akan tanggung jawabnya sebagai Iron Stock atau sosok yang diharapkan sebagai pemimpin di masa mendatang. Mereka cenderung lebih peka untuk memberikan solusi kreatif nan bombastis terhadap kegalauan-kegalauan lawan jenis yang disematkan di kolom komentar atau inbox ketimbang berkontribusi menyumbangkan secuil ide dan tulisan-tulisannya di media untuk menjawab problematika bangsa dan masyarakat.

Belum lagi skandal-skandal sex, narkoba, dan kriminalitas yang telah melucuti habis status keintelektualan mereka. Diperbudak oleh modernitas yang tak jelas asalnya entah dari mana. Menanam bibit-bibit apatisme di dada para Agen of Change ini.

Di sisi lain tak jarang kita juga mendapati karakter mahasiswa yang hanya fokus dan tekun di bangku perkuliahan, berusaha keras memperoleh natijah/nilai atau IPK tertinggi, menjadi mahasiswa berprestasi, mahasiswa terbaik, terajin, terpintar, dan ter-ter lainnya. Hal ini kemudian akan membentuk pribadi yang pragmatis berfokus pada hasil dan mengabaikan proses yang ada. Buku dan bacaan-bacaanya hanya dijadikan bahan untuk menyelesaikan tugas dan memperbaiki nilai, bukan untuk memahami realitas sosial yang ada disekitar mereka. Mereka hanya mendapati ilmu tanpa mengetahui masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh bangsa. 

Dalam ranah diskusi pun mereka terkadang menampakkan ‘taring’ apatisnya, saat mereka sebatas membahas teori dan teori tanpa mengkaitkannya dengan realita yang terjadi di tanah air dan masyarakat. Ironisnya, realitas sosial hanya dituangkan dalam denah dan grafik-grafik cantik, didefenisikan lalu dijadikan teori yang menggugah, merinci dan mengurainya ke dalam berbagai pemahaman madzhab serta dalil-dalil syar’i namun kemudian ‘cacat’ aplikasi dan tanpa hasil yang nyata.

Seakan mereka dibenturkan antara prinsip idealis dengan tuntutan hidup, maka semuanya pun berkompetisi menjadi yang terbaik hanya untuk mendapat pekerjaan dengan kualifikasi gaji terbanyak dan terbesar kelak. Mindset yang telah mengakar kuat dalam pikirannya “semakin tinggi dan berkualitas tingkat kesarjanaaku maka akan semakin tinggi dan gajiku kelak”. Tanpa sedikitpun memperdulikan kondisi dan permasalahan-permasalahan sosial di sekitarnya. Prinsip idealis yang dulu selalu melekat pada mereka seakan dimakan habis oleh tuntutan-tuntutan kehidupan tadi, sungguh sebuah ironis. Andaikan dalam kepala dan jiwa-jiwa seorang mahasiswa –khususnya masisir- tertanam mindset “semakin tinggi ilmu dan tingkat kesarjanaan yang kuperoleh maka semakin besar pula kesempatanku untuk bermanfaat dan memperbaiki masyarakat di sekelilingku”, mungkin kenyataan pahit nan miris ini tak akan nampak di hadapan kita.
Mengutip nasehat Pramodya Ananta Tour : “Mahasiswa boleh saja maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja. Tapi tanpa kepedulian sosial dan kepekaan akan realitas lingkungan, mahasiswa hanya tinggal hewan yang pandai”

Yang namanya hewan sekalipun pandai yah tetaplah hewan. Ibarat seekor kucing tatkala mendapatkan ikan di tong sampah, ia akan lebih memilih memuaskan hawa nafsunya sendiri bahkan marah saat didekati tanpa memperhatikan kondisi kucing-kucing disekitarnya, dengan kata lain sikap apatis pun dimiliki oleh hewan, jadi jangan berbangga menjadi mahasiswa(i) apatis!.


Redaktur: Dewan Redaksi e-Wawasan 2015-2016

Artikel Terkait