Keputrian

Peran Wanita Muslimah






Anti nishf al-ummah, tsumma annaki talidina lana an-nishf al-akhar, fa anti ummah bi asriha.

Ketika membaca buku-buku sejarah klasik maupun kontemporer atau melihat langsung pergerakan wanita muslimah saat ini, akan kita temukan bahwa masing-masing tokoh wanita muslimah memiliki karakteristik yang khas diberbagai bidang dalam mendukung perjuangan Islam. Di dalam Islam, wanita memiliki peran yang cukup beragam dalam kehidupan. Wanita tak hanya bertugas sebagai ibu rumah tangga, para wanita juga memiliki kiprah dan tuntutan peran yang dibutuhkan  oleh lingkungan masyarakatnya. Wanita dibutuhkan untuk urusan agama, pendidikan, sosial, kesehatan, ekonomi, bahkan politik sekalipun.
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam pengantarnya pada buku Tahrir Al-Mar’ah menyatakan bahwa wanita-berkenaan dengan kuantitasnya-merupakan separuh dari masyarakat. Tetapi jika ditilik lebih jauh lagi pengaruh dari seorang wanita terhadap suami, anak-anak, dan orang-orang yang berada di sekelilingnya, maka lebih dari sekedar “separuh” itu. Di sisi lain, lanjut beliau, kita melihat sebagian filosof yang mengaitkan wanita dengan hal-hal yang terjadi di bumi berupa fitnah dan kejahatan, sampai-sampai ada yang mengatakan ketika terjadi musibah atau kejahatan: periksalah wanitanya!
  • Tugas abadi
‘Melahirkan’ menjadi tugas agung wanita, bagai rantai yang tidak berujung dan tidak akan putus. Jika ia baik, tentu anak yang dilahirkannya akan mendapat warisan kebaikan darinya, begitupula anaknya kepada anaknya kelak, demikian seterusnya. Maka ketika kita berpikir uantuk menciptakan manusia unggul, berpikirlah terlebih dahulu bagaimana mempersiapkan wanita unggul yang akan melahirkannya. Jika Islam memiliki generasi muslimah yang senantiasa dipersiapkan untuk generasi selanjutnya, tak perlu ada kekhawatiran akan keberlangsungan kehidupan dunia yang lebih baik dimasa yang akan datang.
Untuk urusan mendidik anak, sebagai mana perkataan seorang sahabat “siibu harus memiliki format. tidak asal-asalan. Mengenalkannya pada Islam sebelum mengenalkan yang lainnya.
  • Dibalik orang hebabt
Wara’a kulli azhimin imroah, kita tentu tidak asing dengan ungkapan ini. Kita bahkan telah banyak menemukan contoh nyata dalam kehidupan, sosok laki-laki sukses dengan kehadiran wanita di sisinya.
Siapa yang tidak kenal BJ. Habibie, putra bangsa dengan segudang karya dan prestasi. 
Kesuksesan yang beliau capai, sebagaimana yang belia uangkapkan, tidaklah terlepas dari andil dua orang wanita dalam hidupnya; ibu dan istri. 
Selanjutnya mari menengok lembar sejarah keislaman kita, saat kaum muslimin berada dibawah khilafah yang sangat terkenal dengan kewaraan, kebesaran dan keadilannya. 
Di masa kepemimpinannya tak ada orang miskin. Uang zakat tak ada lagi yang mau menerima. Masyarakat berada dalam kecukupan yang luar biasa. Tak salah juka kemudian ia dijuluki khulafa’ ar-rasyidin yang ke 5. Lantas, dari siapakah kebesaran Umar bin Abdul Aziz berhulu? Yaitu seorang anak gadis penjual susu. 
Nasab dan status sosial disebagian pandangan manusia mungkin tidak memuliakannya, namun kejujurannya yang tidak ingin mencampur susu dengan air lalu dijual-lah yang tidak hanya menjadi catatan indah di sisi Allah, namun saat itu bahkan memikat hati khalifah Umar bin khatab yang serta merta berkeinginan menikahkannya dengan salah satu anaknya. 
Maka, bergegaslah Amirul mu’minin mengirim utusan kepada gadis itu, lalu menikahkannya dengan anaknya yang bernama Ashim. 
Dari perempuan inilah, yang darah dan daginya kemudian menitiskan ibu Umar bin Abdul Aziz. Ahmad Zairofi menyebutnya ‘garis perempuan’. Garis-garis sebab-akibat yang sangat dominan memberi warna, mewariskan gen-gen kebaikan. Umar bin Abdul Aziz adalah bukti dari harapan kakek buyutnya al-Faruq pada keputusannya memilih anak gadis penjual susu sebagai menantu. Seorang perempuan yang jujur kepada Tuhannya itu, sipemilik garis keperempuanan yang sangat kuat akhirnya mewarnai garis keturunannya; sang cucu yang mulia.
  • Kebahagiaan bagi mereka
Sebagian muslim, tentu bahagia dengan kesuksesan dunia bukanlah prioritas kita. Kebahagian bahkan sangat relatif maknanya. Tidak sesukses  orang-orang yang terbilang sukses namun dapat hidup bahagia-pun adalah kebahagiaan. Sebuah keluarga yang terdiri dari suami yang shalih, istri yang shalihah, dan anak-anak yang shalih, menjadikan kebahagiaan akhirat sebagai tujuan. 
Muslimah shalihah dalam perannya sebagai istri, akan bergandeng dengan suaminya dan menuntun anak-anaknya meraih kebaikan dunia dan akhirat. Yang wajib untuk diingat adalah ia tidak akan mungkin durhaka pada suaminya; mengacuhkan suami dan perintahnya, apalagi sampai tidak menunaikan kewajiban-kewajibannya. Ia merupakan representasi dari sebaik-baik wanita yang telah digambarkan oleh Rasulullah Aaw.
sebaik-baik wanita adalah apabila kamu memandangnya, ia menyenangkanmu, apabila kamu menyuruhnya, ia menaatimu, dan apabila kamu tidak bersamanya, ia menjaga hartamu dan dirinya“. Shadaqha Rasulullah Saw.
Sumber: Elkhaat
Oleh: Nur Inayah Bahry Lc.

Artikel Terkait