Breaking News
Loading...

Jumat, 09 September 2022

Mengenal Sosok Guru Tua, Sang Non-Pribumi Penggagas Merah Putih

 

Guru Tua (Gambar: dok. Wawasan)


Haul Guru Tua sudah ada di depan mata, tapi sudah seberapa kenalkah kita dengan guru tua? Hanya kenal nama saja, atau mungkin mendengar namanya pun kita masih asing?


Seorang ulama karismatik dengan nama lengkap Habib Idrus bin Salim Al-Djufri yang lebih dikenal dengan panggilan Guru Tua ini lahir pada 15 Maret 1892 M, di kota Taris, Hadramaut Yaman.


“Beliau (Guru Tua) lahir di suatu daerah, kota bernama Taris, kadang kalau di internet itu orang  biasa tulis Tarim, tapi itu salah,” ungkap Habib Muhammad bin Saleh, salah satu keturunan Guru Tua dalam sesi wawancara Bersama kru Wawasan pada Sabtu, 3 September 2022 di kediamannya yang terletak di Hay Sabi’.


          Guru Tua tumbuh di kalangan ahli ilmu, yang berahlak, dan memiliki budi pekerti yang sangat tinggi. Ia dibesarkan oleh ayahnya yang bernama Habib Salim bin Alwi Al-Djufri, ia diajarkan ilmu agama dan Alquran dari kecil sehingga sudah menghafal Alquran secara keseluruhan di umurnya yang masih sangat belia.


Tidak hanya itu, sebab didikan keilmuan yang ia terima sejak masih kecil, di umurnya yang ke 25 tahun ia sudah menjadi mufti yang bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan di kalangan masyarakat setelah ayahnya meninggal dunia.


Dalam napak tilas perjuangannya, Guru Tua yang menginjakkan kaki di tanah Merah Putih untuk berdakwah pada akhirnya turut berjuang bersama rakyat untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Statusnya yang lahir bukan dari Rahim Pertiwi, tidak menjadi alasan yang dapat menyurutkan perjuangannya yang didasari oleh cinta pada ilmu dan Tanah Air.

 

Dan dari proses perjuangan itu lahirlah berbagai warisan untuk bangsa Indonesia, mulai dari bendera Merah Putih dan filosofinya, serta Pondok Pesantren Al-Khairat di kota Palu, yang hingga kini masih eksis dan menjadi ikon bagi Indonesia Timur, khususnya Sulawesi Tengah.

 

 1. Sejarah perpindahan guru tua dari Yaman ke Indonesia dan peta dakwahnya.

Habib Idrus bin Salim Aldjufri mendatangi Indonesia sebanyak dua kali, yang pertama, pada usia 17 tahun, ia diajak oleh ayahnya untuk mengunjungi ibunya yang sudah lebih dulu berangkat ke Indonesia, tepatnya di Manado. Sementara yang kedua kalinya adalah pada tahun 1922 karena Yaman pada saat itu berada di masa penjajahan Inggris. Karena kecaman dari bangsa Inggris yang melarang beliau untuk berdakwah di Yaman dan memberikan pilihan untuk melakukannya selain di negara tersebut,  ia akhirnya memutuskan untuk pindah.


Pada saat itu beliau bersama dengan temannya yang bernama Habib Abdurahman Assegaf, dimana mereka memiliki cita-cita tinggi untuk menyebarluaskan ilmu agama dan melawan penjajahan Inggris, yang pada akhirnya membawa dua orang itu pergi ke tempat pilihannya masing-masing, Habib Abdurahman Assegaf memilih untuk kembali ke Mekah dan Guru Tua melanjutkan perjalanannya ke Asia Tenggara.


Awalnya, ia bermukim di Pekalongan hingga menikah dan mempunyai anak di sana. Selanjutnya ia pindah ke Solo dan sempat menjadi pemimpin di madrasah Rabithah Alawiyah, setelah itu beliau berpindah lagi ke Jombang. Disitulah ia bertemu dan berkenalan dengan KH. Hasyim Asy’ari yang di mana, mempunyai cita-cita yang sama dengan Guru Tua untuk negara Indonesia.


Setelah berpindah dari daerah ke daerah lain di pulau Jawa, dan melihat bahwa sudah banyak pondok pesantren dan ulama yang tersebar. Guru Tua berpikir bahwa dakwah di pulau Jawa sudah cukup sehingga memilih untuk pindah ke Kawasan Indonesia Timur, melanjutkan dakwahnya sampai ke Maluku, NTT, Sulawesi dan sebagainya.


Kemudian Habib Idrus bin Salim Aldjufri mendapatkan panggilan dari keluarganya di Manado yang memang sebelumnya sudah lebih dulu bermukim di sana. Sebelum sampai di Manado, kapal yang ia naiki singgah di Donggala, Palu yang dulu disebut dengan Celebes, lebih tepatnya di daerah Wani. Saat itulah Guru Tua melihat keadaan Palu yang sangat kurang dalam hal Pendidikan dan ilmu agama, ditambah lagi intensitas maksiat yang meningkat secara signifikan, serta adanya kristenisasi yang disebarkan di daerah tersebut.


Berangkat dari hal tersebut, masyarakat-masyarakat yang ada di situ mengajak Habib Idrus bin Salim Aldjufri untuk tinggal. Sehingga beliau tidak melanjutkan perjalanannya dan memilih untuk tetap tinggal di Palu, kemudian melanjutkan dakwahnya di daerah tersebut dan membangun sebuah madrasah yang bernama Al-Khairat. Beliau menghabiskan seluruh umurnya untuk mengajar dan berdakwah di kota Palu ini hingga akhirnya wafat pada 22 Desember 1969.


2. Guru tua penggagas merah putih dan ikut andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Mungkin bagi sebagian orang sosok Guru Tua hanya dikenal sebagai pendiri Al-Khairat, namun jika ditelusuri lebih dalam mengenai rekam jejak hidupnya, sangat banyak fakta menarik yang ada dalam sosok Habib Idrus. Salah satunya, ia adalah orang yang mengusulkan dan mengatakan bahwa bendera Indonesia nantinya adalah merah dan putih. Bahkan terdapat sebuah syair dari beliau berbahasa Arab yang artinya “Setiap umat itu mempunyai simbol (lambang), dan lambang negara kita ini adalah Merah dan putih.”


Syair Bendera Merah Putih (Gambar: dok. Wawasan)

Guru Tua adalah salah satu dari sekian ulama di Indonesia pada saat itu yang berjuang untuk kemerdekaan, bersama KH. Hasyim Asy’ari, Habib Al-Habsyi Kwitang, dan kyai-kyai lainnya. Fakta ini secara eksplisit menggambarkan kecintaan Guru Tua terhadap Ibu Pertiwi, dan keinginannya yang kuat untuk membebaskan Sang Garuda dari belenggu penjajahan.

 

 Hal ini pun yang menjadi salah satu alasan kuat mengapa kemerdekaan Indonesia tidak bisa terlepas dari perjuangan para ulama, yang di mana salah satunya adalah Habib Idrus bin Salim Aldjufri.


Meski pada akhirnya sosok Guru Tua yang sempat dicanangkan menjadi salah satu tokoh Pahlawan Nasional tidak terealisasikan namun namanya masih bergema dan abadi di hati masyarakat khususnya Indonesia Timur.


          Sebagai bentuk penghormatan pada Guru Tua, nama bandara yang ada di Kota Palu yang dulunya bernama Mutiara kemudian diubah menjadi Mutiara SIS Al-Jufrie (SIS singkatan dari Sayyid Idrus bin Salim), tak hanya itu, untuk mengenang jasa dan perjuangannya seluruh instansi Al-Khairat maupun masyarakat Palu melakukan perayaan tiap tahunnya atau lebih dikenal dengan istilah Haul Guru Tua.


3. Visi dan kecintaan Guru Tua terhadap pendidikan.

Pada sesi wawancara bersama Habib Muhammad bin Shaleh Aldjufri, ia menjelaskan bahwa sosok Habib Idrus bin Salim melihat pendidikan sebagai salah satu faktor yang penting dalam mencerdaskan umat.


Wawancara bersama Habib Muhammad ( Gambar: dok. Wawasan)

Hal ini dapat kita lihat dari semangatnya dalam mengajar, hingga diceritakan bahwa Guru Tua ini bisa mengajar di mana pun dan dalam keadaan apapun. Hingga dalam perjalanannya dari kampung ke kampung untuk menyebarluaskan ilmu agama, ia masih menyempatkan waktunya untuk mengajar murid-muridnya di tengah perjalanannya yang menggunakan gerobak sebagai alat transportasi.


Dapat pula ditemukan dalam gubahan-gubahan syairnya, di mana ia banyak melantunkan bahwa Pendidikan itu penting dan menjadi nomor satu. Hal ini jugalah yang menjadi dasar dan dorongan baginya untuk membangun Madrasah Al-Khairat.


Dalam penuturannya, kita dapat memahami Guru Tua merupakan salah satu dari sedikit orang yang menyadari bahwa dalam dunia keilmuan, ilmu saja tidak cukup. Dibutuhkan juga atensi dalam aspek pengolahan dan penyaluran ilmu tersebut, serta kreativitas dan kesabaran dalam menyalurkannya agar dapat menjadi sesuatu yang bisa diterima dengan baik oleh masyarakat.


Selama hidupnya sosok guru tua tidak meninggalkan karya-karya yang begitu banyak, akan tetapi yang menjadi warisan terbesarnya adalah Al-khairat dan murid-muridnya itu sendiri. Peninggalan beliau bukan kitab ataupun tulisan karya yang ada di buku, tapi karya-karya yang berjalan yaitu murid-muridnya dan Madrasah Al-khairat yang ia tinggalkan.


Dari Guru Tua untuk Masisir

“Dengan ilmu dan ahlak engkau akan menggapai cita-cita, kalau kau menginginkan itu semua makan jangan sombong.”


Syair tersebut adalah nasihat yang selalu disampaikan oleh Guru Tua kepada setiap keturunan dan murid-muridnya, dan tidak sedikit dari keturunannya yang melanjutkan pendidikan di Al Azhar sehingga nasihat-nasihatnya memiliki potensi untuk disampaikan kepada para pelajar di Mesir. Apalagi kita berangkat jauh untuk belajar dari Indonesia ke Mesir dengan misi utama yaitu menuntut ilmu, yang mana Habib Idrus juga dalam syairnya pernah menyebutkan nama Al Azhar.


Salah satu  hal yang melekat pada sosok Guru Tua yaitu misinya dalam mencerdaskan umat, hal ini jugalah yang patut mendapatkan perhatian kita, para Masisir. Agar kita pulang nanti bukan hanya dengan sekadar tangan kosong, layaknya buku kosong yang belum dicetak dan tidak bernilai apa-apa, pun tidak seperti buku yang penuh dengan ilmu, namun hanya teronggok di sudut rak yang tinggi, tak terlihat dan tergapai oleh siapapun, Melainkan Layaknya perpustakaan, yang buku-bukunya bebas dibaca, dipahami, dicintai, dan memberi banyak manfaat untuk orang-orang.

 

Reporter: Akmal Sulaeman, Mugni, Annisa Rahma

Editor: Ichsan Semma

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar