Breaking News
Loading...

Jumat, 15 April 2022

Pengurusan Visa Kolektif di Mesir, Privilege untuk Siapa Sebenarnya?

 

Ilustrasi Foto Paspor (Gambar: dok. Wawasan)

Wawasan, Kairo—Surat izin tinggal atau yang biasa dikenal dengan Visa merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dimiliki oleh seseorang ketika mengunjungi suatu negara, terkhusus bagi pelajar. Meski secara konkret bentuknya hanya merupakan sebuah kartu, akan tetapi memiliki peran vital untuk keamanan serta kenyamanan pelajar tersebut, terutama dalam hal legalitas.

 

Namun, bagaimana jika sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap pelajar luar negeri tersebut, justru menuai banyak problematika dari berbagai aspek? Mulai dari regulasi hingga biaya yang hingga kini masih menjadi pertanyaan di benak masyarakat.

 

Kondisi inilah yang kurang lebih dialami oleh Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) pada saat ini, di mana pertanyaan terkait regulasi dan biaya yang semakin hari semakin menjadi-jadi dan tidak kunjung mendapatkan jawaban yang memuaskan. Maka dari itu, Wawasan Mesir melakukan beberapa penyidikan serta investigasi yang berujung pada hal-hal berikut.

 

Klasifikasi Dana

Muhammad Choiry Alfikry yang merupakan mandub (red—Perwakilan pengurusan visa) kekeluargaan KKS menjelaskan bahwa Indonesia pada dasarnya termasuk negara dengan regulasi pengurusan visa paling rapi di antara negara-negara lain yang warganya tinggal di Mesir. Hal tersebutlah yang menjadi alasan pihak Gawazat (red—Keimigrasian Mesir) menaikkan jumlah kuota pengajuan berkas untuk Indonesia dari 175 menjadi 400 berkas per minggunya.  

 

Seperti yang diketahui, biaya pengurusan visa reguler adalah 630 EGP secara keseluruhan, dengan rincian 540 EGP untuk cetak kartu, dan 90 EGP untuk biaya administrasi Intif per berkasnya. Untuk spesifikasi biaya adminitrasi itu sendiri, sesuai dengan yang dipublikasian Intif sebagai tim pengurusan izin tinggal kolektif pelajar/mahasiswa Al-Azhar Indonesia di Mesir di platform instagramnya per tahun 2021 adalah sebagai berikut:

Beban gedung: 9 EGP

Perlengkapan kantor: 7 EGP

Tasdik: 2 EGP

Biaya perjalanan: 25 EGP

Konsumsi: 19 EGP

Gaji pegawai: 28 EGP    

 

Screenshot Modul Intif (Gambar: Instagram Intif Mesir)

Sekilas rincian jumlah di atas bisa dimasukkan dalam kategori masuk akal dan normal. Namun, jika diperhatikan dengan lebih saksama, melihat jumlah berkas disetorkan ke Intif tiap pekannya, yang mencapai angka 400 berkas, kita akan menemukan beberapa kejanggalan yang menimbulkan berbagai pertanyaan.

 

Misalnya, dalam daftar di atas disebutkan biaya perjalanan sebesar 25 EGP, perlu diingat bahwa penentuan biaya ini ditetapkan untuk setiap berkas yang masuk, yang artinya jika dalam seminggu ada 400 berkas yang dieksekusi, maka biaya transportasi Intif dalam sepekan adalah 25 EGP x 400 berkas, yang hasilnya mencapai 10.000 EGP hanya untuk transportasi dalam seminggu.

 

Transportasi menjadi salah satu dari sekian transparansi yang terkesan tidak spesifik dan alih-alih memberikan jawaban, malah melahirkan pertanyaan baru di kepala. Meskipun pada dasarnya hal ini tidak memiliki kadar urgensitas yang tinggi, akan tetapi mengingat jumlah keseluruhannya mencapai angka yang cukup banyak, sudah sepatutnya diperlukan alokasi yang lebih rinci perihal transparansi tersebut.

 

Pertanyaan selanjutnya, apakah kuota 400 berkas tersebut akan terus terpenuhi? Melalui penuturan mandub dari tiga kekeluargaan yaitu KKS, FOSGAMA, dan KPMJB, ketiganya mengonfirmasi bahwa kuota pengajuan berkas yang ditentukan oleh pihak Intif untuk tiap kekeluargaan per minggunya selalu full. Bahkan, jika ada kekeluargaan yang kuotanya tidak terisi, akan digantikan oleh berkas dari kekeluargaan yang lain. Yang artinya, kuota 400 per minggu tersebut kemungkinan besar akan terus terpenuhi.

 

Bagaimana dengan Ekspres?

Sebelum mengulik jauh lebih dalam perihal ekspres, pada dasarnya jalur ini bisa dimasukkan dalam kategori inovasi yang sangat membantu dalam dunia per-visa-an. Bagaimana tidak, pengurusan visa yang biasanya terkesan ribet dan lambat, bisa berubah 180 derajat saat mengambil jalur ekspres, yang di mana sistem dan rentang waktu dari awal  taqdim (pengajuan berkas) hingga taslim (keluarnya visa) menjadi sangat mudah dan cepat.

 

Namun, kemunculannya di pertengahan tahun 2021 lalu justru menuai begitu banyak pro dan kontra. Dikarenakan hadirnya jalur ekspres tersebut diikuti oleh beberapa kebijakan yang mengundang berbagai pertanyaan serta rasa skeptis masyarakat, termasuk perihal kenaikan dana dan jumlah kuota yang lebih mendominasi dibandingkan kuota reguler.

 

Rif’at Zaky selaku supervisor Intif menjelaskan perihal menipisnya kuota reguler itu sendiri, ia mengaku sudah membaca gerak-gerik dari pihak Gawazat bahwa akan ada penghapusan kuota reguler.

 

“Dan ke depan saya yakin walaupun ini belum kita dengar ya, cuma dari gerak-gerik yang kita lihat dari pihak imigrasi ini, saya yakin tahun depan udah nggak ada jalur reguler,” ungkapnya.

 

Hal tersebut juga diamini oleh beberapa mandub yang sempat kami wawancarai. Zaki bercerita bahwa pada awalnya kuota reguler itu sudah dihilangkan. Cuman, supaya terlihat tidak dihilangkan, akhirnya disisakan sekali taqdim sebanyak 50 berkas reguler. Namun, yang menjadi masalah adalah kartu taslim reguler tersebut selama 4 bulan tak diketahui keberadaannya.

 

Akhirnya, dengan tujuan agar kuota reguler ini tetap bertahan, pihak Intif—dari penuturan Zaki— berinisiatif untuk melakukan rapat bersama sekaligus mencari solusi dengan seluruh gubernur kekeluargaan. Karena pihak Gawazat yang memberikan kuota “jalur cepat” ini justru lebih banyak, maka pihak Intif sendiri memberikan dua buah solusi pada forum tersebut, yaitu kuota reguler tetap ada, namun hanya 50 berkas saja atau jalur cepat ini diberikan kuota yang tidak dibatasi sama sekali. Karena sebelumnya pernah terjadi pengurusan 200 berkas di jalur ekspres ini, dan tidak selesai dalam jangka waktu yang dijanjikan oleh Gawazat, maka keputusan dalam forum tersebut menyetujui dengan diadakannya pengurusan berkas ekspres besar-besaran.

 

Hal tersebut dilakukan agar dapat melihat kinerja pihak Gawazat dalam mengeksekusi jalur ekspres tersebut. Juga sebagai ultimatum untuk pihak Gawazat, yang di mana ketika kinerja jalur ekspres tidak sesuai dengan yang diharapkan, Intif akan punya alasan kuat untuk menolak pengadaan jalur ekspres.

 

“Akhirnya 800 berkas tembus dan keluar tepat waktu, tidak pernah molor sama sekali. Bahkan, kita nambah di minggu pertama dan kita harus menerima berkas di masa ujian,”  jelasnya. 

 

Ilustrasi Visa (Gambar: dok. Wawasan)

Untuk biaya antara jalur reguler dan jalur ekspres diketahui ada kenaikan yang cukup signifikan, yaitu dari angka 630 EGP menjadi 880 EGP. Ada kenaikan 250 EGP di mana 220 EGP merupakan biaya administrasi Gawazat, sementara untuk Intif sendiri meningkat sebanyak 30 EGP, dari yang awalnya 90 EGP menjadi 120 EGP.

 

Namun, anehnya adalah dari pihak Intif sendiri belum memberikan alasan serta spesifikasi tentang alokasi kenaikan biaya administrasi tersebut. Apakah jalur ekspres yang merupakan inovasi dari Gawazat juga memberikan beban tambahan pada pihak Intif  sehingga biaya operasionalnya perlu ditambah? Belum lagi biaya yang awalnya saja sudah menimbulkan banyak pertanyaan malah mengalami kenaikan yang tidak diiringi penjelasan sama sekali. Ditambah menipisnya kuota jalur reguler sangat memperburuk suasana di kalangan masyarakat Indonesia di Mesir.

 

Status Kelembagaan

Dalam sesi wawancara bersama kru Wawasan, pada Ahad, 13 Maret 2022, Zaki mengonfirmasi bahwa pada dasarnya Intif bersifat independen, dalam hal ini berarti tidak berada di bawah lembaga kemasisiran apapun, tak terkecuali PPMI Mesir. Ia juga menjelaskan bahwa secara prosedur tidak ada bedanya Intif berada di bawah PPMI atau tidak, karena jikalau pun ada berkas yang bermasalah, PPMI tidak akan bisa mengurusnya.

 

“Ketika berada di bawah Presiden PPMI, mereka juga tidak mendapatkan kartu mandub jadi mereka untuk masuk ke dalam imigrasi pun tidak bisa,” lanjutnya.

 

Zaki pun membenarkan bahwa sudah beberapa kali PPMI mencoba untuk menjadikan Intif di bawahnya secara struktural. Namun, berdasarkan pertimbangan serta tinjauan di atas, ia menilai tidak ada keuntungan serta kerugian apa pun yang diperoleh jikalau hal itu terealisasi. Ia pun mengungkapkan bahwa sebenarnya lebih mudah bekerja dengan status independen.

 

“PPMI mustahil akan sanggup mengurusi visa dengan kesibukannya yang banyak,” tuturnya.

 

Ia juga memaparkan bahwa kartu mandub, yang dimaksud tersebut langsung dikeluarkan oleh Pemerintah Mesir. Itulah juga alasan mengapa hingga tiga generasi, kepengurusan Intif tetap dipegang oleh orang-orang yang sama.

 

Namun, yang menjadi pertanyaan di kalangan Masyarakat Indonesia di Mesir adalah bagaimana sistemasi struktural yang mengatur, memantau, serta menjamin keabsahan data dan laporan-laporan pertanggungjawaban dalam Intif itu sendiri? Kalau pun ada, mengapa masyarakat tidak diberi tahu sama sekali?  Tidak adanya transparansi struktural, di mana masyarakat bisa mengetahui siapa yang menjamin keabsahan laporan pertanggungjawaban yang diunggah, melahirkan berbagai keraguan yang dapat mengurangi validitas laporan tersebut.

 

Namun, kembali ke pertanyaan sebelumnya, apakah secara struktural Intif memiliki lembaga seperti itu? Pun kalau misalnya ada, apa standarisasi yang ditetapkan dalam penentuan serta penetapan kewenangan anggota dalam bagian tersebut? Hal tersebutlah yang mencoba kami perjelas namun pihak Intif sendiri menolak untuk diwawancarai.

 

Hingga tulisan ini diunggah di website Wawasan, belum ada respons serta jawaban sama sekali dari pihak terkait perihal isu-isu yang ada. Apakah ada yang salah? Apa ada yang disembunyikan? Mengapa rakyat tidak diberi tahu secara spesifik ke mana uang mereka semua bermuara?

 

(Tim Investigasi Wawasan: Ryan, Ichsan Semma, Mugni, Annisa)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar