Breaking News
Loading...

Jumat, 24 September 2021

Yahweh and Moses

 

(Sekuel: Ehyeh Asyer Ehyeh)

Oleh: Semma

  

Ilustrasi (Gambar: Pinterest.com)

Aku adalah sembahan para iblis

Tempat setan-setan mengadu

Pada titik di mana kalian mendapati yang berbeda sebenarnya berhubungan

Pada persimpangan di mana yang bisa kalian temukan hanya jalan yang lurus

Di sanalah kalian akan dapati aku

Sebagai tuhan yang lupa ingatan 

Yahweh duduk di tempat favoritnya di kafe itu. Pelayan yang biasanya hari itu sedang sakit, digantikan oleh anak baru yang bahkan tidak tahu bahwa ia datang kemari setiap hari minggu sore. Mood-nya yang sejak awal sudah berantakan jadi makin rusak karena harus menjelaskan ulang bagaimana detail kopi yang ia inginkan seraca rinci pada anak baru itu, dan sialnya setelah penjelasan yang ketiga kalinya, bocah tengik itu belum paham juga. Maka sebelum  Yahweh mengutuknya menjadi kucing hoki hanya karena mood yang sedang tidak baik, pada anak ingusan itu ia berkata,

“Bilang saja pada baristamu, Yahweh datang,” ucapnya disambut anggukan cepat dari si bocah yang segera berlalu.

***

Ini sudah kesekian kalinya ia terlambat, pertemuan itu akan kembali dibuka dengan celotehan tentang kedisiplinan dan sebagainya, baru kemudian wanita itu akan diam, mendengarkan semua laporan yang harus ia sampaikan pada wanita tersebut. Sesi laporan itu biasanya berjalan selama 30 menit; 20 menit pertama wanita itu akan sesekali berdehem, atau mengangguk tanda ia masih fokus memperhatikan, baru pada 10 menit berikutnya dehemannya berubah jadi menguap dan anggukannya mulai terlihat terkantuk-kantuk.

Ia sudah sampai, dan di sanalah wanita itu, dengan tatapan matanya yang tajam seolah ingin sekali menenggelamkannya bersama Firaun di Laut Merah hanya karena ia terlambat yang kesekian kalinya.

“Kau terlambat Moses,” ucap Yahweh ketus.

“Hanya 15 menit, Nona,” jawab Moses setengah takut, menjaga agar dirinya tidak diubah menjadi asbak Yahweh atau pun dikirim kembali ke dasar laut bersama mayat tentara Firaun.

***

“Manusia di zaman ini mulai kurang ajar,” buka Yahweh.

“Sudah mulai berani mereka mempertanyakan keberadaanku, sudah secerdas apa memangnya manusia zaman sekarang ini,” lanjutnya.

“Ironisnya hanya karena mereka tidak dapat mencapai gagasan yang ideal tentangmu, banyak dari mereka berkesimpulan bahwa kau itu tidak ada,” timpal Moses semangat, ini adalah sesi paling menyenangkan dalam pertemuan dengan Yahweh, diskusi bebas. Dimana ia bebas mengeluarkan pendapatnya tanpa takut akan bersanding dengan Mumi Firaun.

“Tidak akan ada gagasan yang ideal tentangku Moses, semuanya pasti akan memiliki cacat, mereka itu memalukan, lemah tapi merasa bisa menyimpulkanku sesederhana itu. Bahkan, hingga akhir zaman nanti manusia masih akan bertengkar apakah aku ada atau tidak, apakah aku wanita atau pria, apakah aku benar atau tidak, mereka akan terus mempertengkarkan itu tanpa sadar bahwa hari akhir semakin dekat.”

“Lantas kapan mereka akan sadar?” tanya Moses kemudian.

“Beberapa orang sudah menyadari hal itu, kaum-kaum berkepala gundul—yang seumur hidupnya dihabiskan untuk berpuasa—sudah sejak zaman dulu menyadari betapa lemah dan tidak layaknya mereka berbicara tentangku. Sayangnya, mereka lebih memilih bersujud pada ketiadaan daripada aku,” ujar Yahweh santai.

“Manusia zaman sekarang pun ada yang menyadarinya, entah datang dari kesadaran batin yang mereka anggap anugerah ataupun perjalanan logika yang berliku. Aku menyukai seseorang bernama Karen, dia telah menelanjangiku dengan sangat baik; melihatku dari setiap sisi, tapi ia tidak memperkosaku, ia justru bersujud dan menerima ketidak sanggupannya terhadapku,” lanjutnya.

“Dia manusia yang keren, sedikit dari sekian banyak,” Moses mengomentari.

“Tidak hanya itu, ia bahkan membuat buku tentangku, mencoba menyadarkan semua orang tentang betapa pentingnya me-Yahweh-kan seorang Yahweh,” timpal Yahweh sembari mengeluarkan sebuah buku bersampul hitam dari tasnya. Moses mengamati buku itu lalu mengernyitkan dahi.

“Ini sejarahmu?” tanya Moses—masih tidak yakin ada manusia yang berusaha sejauh itu untuk mencari Yahweh.

“Yups, dan usahanya yang keras itu cukup untuk membuatku jatuh cinta padanya. Belum ada manusia yang berusaha sekeras dia. Ia patut diacungi jempol,” jawab Yahweh dengan wajah yang agak memerah.

“Tapi dia juga membahas El,” Moses mulai berhati-hati kali ini.

Seketika Yahweh tersentak, nama itu lagi, ia muak mendengarnya. Sedekat apa Karen dengan El? Itu selalu menjadi pertanyaan dalam benaknya, ia cemburu wanita itu dekat dengan yang eksistensi lain selain dirinya, dan mengapa harus El?—saingan terbesar dalam segala hal. Tapi yang sedikit menghiburnya adalah dalam buku bersampul hitam itu Karen lebih banyak membahas dirinya ketimbang El, dan itu selalu membuatnya merasa unggul, pun semakin menyukai gadis itu.

Ia sendiri belum pernah bertemu dengan El, mereka berdua memang bersaing dengan cara yang tidak biasa, Yahweh tidak pernah bertemu El, begitu juga sebaliknya, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa persaingan keduanya sangatlah sengit, siapa yang lebih kuat? Siapa yang lebih baik? Siapa yang lebih nyata? Hal-hal itu selalu menjadi perdebatan yang tidak pernah berakhir oleh para pengikut keduanya.

“Permisi Nona, ini pesanan anda, maaf menunggu lama,” tiba-tiba bocah tadi sudah datang membawa kopi pesanan Yahweh, gadis itu langsung menyambar cangkir kopi itu, menyeruputnya hingga habis lalu beranjak pergi, bagaimana pun nama El selalu membuat mood-nya bertambah buruk.

Moses pun ikut berdiri dan berniat mengejar, namun …

“Paman, maaf bukunya terjatuh,” suara itu mencegat langkahnya, ia berbalik, mengambil buku tersebut dari bocah pelayan itu.

“Kau anak baik, siapa namamu,” tanya Moses.

Dengan senyum ramah yang manis anak itu menjawab.

“Namaku El.”

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar