Breaking News
Loading...

Senin, 02 November 2020

Kecacatan Omnibus Law dalam Pandangan Masisir

Acara Hari Diskusi (Gambar: Dok. Wawasan)

Wawasan, Kairo—“Omnibus Law ini ibaratnya sebuah kapal yang mana apabila ada kebocoran di dalamnya maka kapal tersebut tidak boleh berlayar, karena apabila dilanjutkan berlayar maka akan menenggelamkan orang yang ada di kapal tersebut” tutur Muhammad Aufa Rahman dalam acara Hari Diskusi (Hardisk) yang bertemakan “Omnibus Law Untung atau Buntung?” Ahad, (1/11).

Seperti yang dilansir melalui laman Tempo.co, Dewan Perwakilan Rakya (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-undang atau RUU Cipta Kerja dalam sidang paripurna, Senin, (5/10). Pengesahan yang dilakukan pada dini hari tersebut mendapat banyak penolakan dari berbagai kalangan, hal ini ditandai dengan unjuk rasa menolak Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja yang terjadi serempak pada Kamis, (8/10) di sejumlah kota di Indonesia. Tidak berakhir di situ, pada 28 Oktober kemarin, massa kembali melakukan aksi penolakan UU Cipta Kerja yang sekaligus sebagai hari memperingati Sumpah Pemuda.

Melihat polemik yang terjadi di Indonesia tersebut, sebagai Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) maka Organisasi Perwakilan Pelajar Islam Indonesia (Pwk PII) Republik Arab Mesir mengadakan kajian yang membahas Omnibus Law dengan judul “Omnibus Law Untung atau Buntung?" Adanya acara ini menurut PII, adalah untuk membuka cakrawala wawasan kita, bahwasanya tidak serta-merta ketika mendengar isu langsung kita demo.

Pamflet Kegiatan (Gambar: Dok. Pwk PII Mesir) 

Sebagaimana kutipan di awal, Muhammad Aufa kembali melanjutkan dalam penuturannya, “Secara teoritis, dalam usul fikih dibahas, ‘menghindari kemudaratan itu lebih diutamakan daripada mengambil maslahatnya’ yang mana kita lihat dalam rancangan Omnibus Law ini, walaupun pasal-pasal yang memiliki mudarat itu sedikit, namun kemudaratan yang ditimbulkan kedepannya itu lebih besar daripada maslahat yang ditimbulkan.”

Menurut Muhammad Ghifari yang juga kontra terhadap Omnibus Law dalam diskusi tersebut, setidaknya ada tiga alasan kenapa Omnibusw Law ini dianggap cacat. Pertama, Omnibus Law berpotensi mengabaikan ketentuan formal pembentukan undang-undang. Kedua, Omnibus Law mempersempit keterbukaan dan partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang. Ketiga, Omnibus Law bisa menambah beban regulasi jika gagal diterapkan.

Berdasarkan tulisan yang dibuat oleh Muhammad Aufa, Muhammad Ghifari, dan Nadya Rahma, dari awal, semenjak Omnibus Law UU Ciptaker ini disahkan pun telah ada ketidakjelasan di dalamnya, bahwa RUU Ciptaker yang beredar di publik ini mengalami 6 kali revisi dengan berbagai jumlah halaman yang berbeda. “Lalu kemarin yang disahkan pada jam 1 malam itu yang mana? Terbukti dari sini ada yang bermasalah, ada yang disembunyikan” ungkap Ghifari.

Ghifari menambahkan, hal ini diperkuat dengan adanya inkonsistensi klaster pendidikan dalam RUU tersebut, yang mana setelah ada respon dari masyarakat, klaster pendidikan ini hilang lagi dalam draf terbaru yang diterima NU dan Muhammadiyah di Istana. apabila diajukan banding, kita yang salah. Karena asas yang dipakai dalam hukum ini adalah nullum dilectum nulla poena sine praevia lege poenali  (tidak ada tindak pidana [delik], tidak ada hukuman tanpa [didasari] peraturan yang mendahuluinya) jadi sebagai mahasiswa atau akademisi, dalam hal pendidikan terhadap UU Ciptaker ini tidak bisa komen.

Pada intinya RUU Ciptaker ini sebenarnya adalah upaya besar-besaran untuk masa depan Indonesia yang lebih maju. Tapi sayangnya narasi yang seperti ini menurut Nadya Rahma selaku pembicara di diskusi tersebut, justru pada realitasnya berbanding terbalik dari apa yang digaungkan pemerintah, karena berdasarkan data yang telah dikaji, Omnibus Law ini bukannya mensejahterakan rakyat, tapi malah sebaliknya. (Azhar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar