Breaking News
Loading...

Selasa, 23 Oktober 2018

Menanamkan Sikap Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge’ di Era Milenial


Oleh: Ahmad Rusyaid Idris

Globalisasi yang kini mengusung prinsip modernisasi ditandai dengan kemajuan teknologi yang serba digital, namun tak bisa dimungkiri, hal itu menjadi ancaman bagi nilai-nilai luhur suku bangsa, karena kurangnya pengenalan serta penjiwaaan terhadap nilia-nilai budaya tersebut. Secara demografis, pesatnya kemajuan teknologi saat ini mengakibatkan lahirnya generasi milenial. Generasi milenial atau yang akrab disebut generasi Y yaitu kelompok anak muda yang berusia belasan tahun hingga awal tiga puluhan yang lahir pada awal 1980 hingga awal 2000 (Suryadi, 2015).

Di era milenial ini setiap informasi dengan cepat dapat diakses oleh siapa saja di manapun dia berada. Dengan teknologi yang mumpuni, generasi milenial dibentuk menjadi pribadi yang serba canggih dan modern. Di luar dari itu semua, hal ini justru menjadi bumerang bagi generasi milenial. Medsos (media sosial) contohnya. Dampaknya adalah, semakin mendekatkan pada merosotnya moralitas masyarakat, apapun suku bangsanya. Saling mencaci maki di medsos, kurangnya rasa hormat kepada sesama, sikap tak ambil peduli, merupakan perilaku yang mudah kita temukan sehari-hari di lingkungan sekitar kita.

Hasilnya, nilai-nilai kearifan lokal yang diwariskan oleh nenek moyang, bergeser dan digantikan oleh perilaku hidup yang korup, ujaran kebencian di mana-mana, materialistis, diskriminatif  dan tidak menoleransi lagi perbedaan. Menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi dan budaya leluhur lebih sering dijadikan sebagai pajangan belaka.

Dalam budaya Bugis Makassar dikenal sistem budaya yang dapat menjadi pegangan hidup baik untuk dirinya maupun dalam bermasyarakat. Jadi setiap orang diandaikan mampu mengamalkan nilai-nilai positif itu tadi, untuk menjadi arahan dalam tuntunan sosialnya. Itulah sebabnya, salah satu sikap yang diterpakan oleh leluhur Bugis disegala sektor kehidupan diserap dari nilai-nilai sipakatau, sipakalebbi, sipakainge’.

Sipakatau merupakan sifat yang memandang setiap manusia sebagai manusia. Tidak ada perbedaan derajat, kekayaan, kecantikan, kepintaran dan seterusnya. Intinya harus saling menghargai dan menghormati sesama manusia. Karena ia manusia maka harus dipakatau, dimanusiakan. Sehingga kita memandang manusia seperti manusia seutuhnya dalam kondisi apapun.

Akan halnya sipakalebbi, adalah sifat yang memandang manusia sebagai makhluk yang senang dihargai, diperlakukan dengan baik, dan menghargai kelebihan yang dia punya tanpa melihat sisi negatif yang dia miliki. Karena itu, masyarakat Bugis tidak akan memperlakukan manusia lain dengan seadanya saja, tetapi, dia cenderung memandang manusia lain dengan segala kelebihannya. Sehingga siapapun yang berada dalam kondisi tersebut akan senang karena merasa dihargai.

            Adapun sipakainge’ adalah sifat saling mengingatkan. Berarti setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. Adakalanya manusia lalai sehingga terpeleset, terjerumus dan tergoda atas perbuatan-perbuatan yang melanggar norma, baik adat maupun agama. Korupsi atau maksiat misalnya. Karena itu sifat ini perlu ditanamkan untuk saling mengingatkan. Yang mengingatkan entah itu dilakukan orangtua kepada anaknya, guru terhadap muridnya, atau sesama kawannya sendiri. Sehingga siapapun akan selalu diingatkan untuk berjalan di jalan yang lurus. Tidak ada orang yang bebas dari aturan. Karena adat telah dibuat dan disepakati.

Sejumlah hasil penelitan juga telah membuktikan bahwa nilai sipakatau, sipakalebbi, sipakainge’, tidak hanya sebatas nilai kultur yang diakui oleh masyarakatanya akan tetapi juga teraplikasi pada tindakannya. Sehingga menjadikan nilai-nilai ini menjadi perekat sosial dan juga antara norma yang satu dengan norma yang lainnya saling melengkapi. Sayangnya nilai-nilai sipakatau, sipakalebbi, sipakainge’ diabaikan oleh generasi milenial sekarang ini, khususnya masyarakat Bugis-Makassar disebabkan karena derasnya arus globalisasi. Perlahan namun pasti membuat generasi muda Bugis-Makassar merasa asing dengan budayanya sendiri. Hal ini tentu menjadi mimpi yang lebih buruk lagi jika para generasi milenial bangsa kita tidak memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang budayanya sendiri.

Melihat realita yang terjadi di era milenial ini, terdapat satu skenario utama yang mesti dipahami oleh para pemuda generasi Y agar dapat menggunakan kemajuan teknologi secara bijak dan maksimal. Yakni dengan menanamkan nilai-nilai sipakatau, sipakalebbi, sipakinge’ ini, dalam bermedsos. Semisal saja pemilu yang semakin dekat, masing-masing pendukung saling merendahkan pasangan satu sama lain, sehingga saling mencaci-maki di medsos, karena tidak terima kalau dukungannya direndahkan. Inilah salah satu dampak negatif yang lagi marak terjadi di era milenial ini. Sebaikanya ujaran kebencian, saling merendahkan dan saling menjatuhkan di sosial media,  diganti dengan sipakatau (saling memanusiakan) sipakalebbi (saling menghargai) dan sipakainge’ (saling mengingatkan). Karena menjunjung tinggi nilai-nilai ini bukan berarti mengabaikan kemajuan dan menjadi teringgal atau yang sering disebut ‘tidak update’. Menurut Zaim Uchrowi dalam bukunya Kerakter Pancasila, Mengatakan berbagai kajian dan fakta menunjukkan bangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki kerakter kuat.

Sehingga setiap berita ataupun informasi yang mampu menyulut perpecahan baik antar agama, suku, ras, dan hal-hal lainnya tidak dapat dengan mudah mempengaruhi psikologi publik. Hal ini dikarenakan masyarakat sendiri sudah memiliki pegangan yang kuat berupa nilai-nilai dari sipaktau sipakalebbi sipakainge’.

Sipakatau sipakalebbi sipakainge’ merupakan warisan berharga yang mampu memproteksi generasi muda di era milenial dari sisi negatif derasnya arus globalisasi. Sehingga penanaman makna akan nilai-nilai tersebut semakin kuat, ketika kuat maka tentunya akan menjadi lebih bijak dalam bersikap.

Kesimpulannya adalah menanamkan sifat sipakatau, sipakalebbi, dan sipakainge’  menjadi modal dasar dalam tata hubungan manusia Bugis dengan manusia lainnya. Siri’ (perasaan malu) yang merupakan kehormatan diri setiap manusia Bugis akan selalu dijaga dan dipertahankan dengan konsep sipakatau, sipakalebbi, dan sipakainge’  tersebut.

         



9 komentar:

  1. Sangat bermanfaat, jargon sipakatau sipakalebbi sipakainge tampaknya sangat mampu menjadi kunci keharmonisan dan keselarasan di lingkungan masyarakat!

    BalasHapus
  2. Mantap anggota, kesadaran terhadap dunia literasi selalu berguna untuk engkau di masa yang akan datang.

    BalasHapus
  3. Mantab. Terus berkarya dengan pena KKSku

    BalasHapus
  4. Barokallah
    Mantul. Ceng. Bermanfaat 😍😍😎

    BalasHapus
  5. Intinya Sipakatau, sipakalebbi'dan sipakainge'harus berjalan bersama dan berdampingan, karna diera sekarang ini banyak orang sipakainge' tapi tdk menyertainya dengan sipakalebbi'nasipakatau, walhasil timbul perpecahan antara sesama dan menimbulkan kebencian.

    BalasHapus
  6. Intinya Sipakatau, sipakalebbi'dan sipakainge'harus berjalan bersama dan berdampingan, karna diera sekarang ini banyak orang sipakainge' tapi tdk menyertainya dengan sipakalebbi'nasipakatau, walhasil timbul perpecahan antara sesama dan menimbulkan kebencian.

    BalasHapus
  7. Memberikan pengetahuan .. Akan jati diri kita sbg org bugis

    BalasHapus
  8. Mammuare paddisengetta mabbarakka lao ri agamata, ri kampong ta sibawa negarata, ri keluargata, lebbi-lebbipi lao ri aleta
    Amiin

    BalasHapus