Breaking News
Loading...

Senin, 22 Oktober 2018

Masisir dan Jiwa Santrinya


Oleh: Nurul Intan Azizah Dien

Masisir (Mahasiswa Indonesia di Mesir) sekaligus pelajar al-Azhar yang sebagian besar berlatar belakang pendidikan pondok pesantren di Indonesia sudah pasti seorang santri. Namun, apakah jiwa santri tersebut masih melekat pada diri mereka?
Dewasa ini, penggunaan kata ‘santri’ semakin beragam. Ada santri mukim dan santri kalong, santri tradisional dan santri modern, hingga santri profesi dan santri kultur. Penamaan ini ditinjau dari berbagai aspek, mulai dari segi metode pendidikan, tempat tinggal, budaya, dan lain sebagainya. Menurut KBBI, santri merupakan orang yang mendalami agama Islam; orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; orang yang saleh. Sejalan dengan hal tersebut, K.H Mustofa Bisri a.k.a Gus Mus mengatakan bahwasanya yang disebut sebagai santri adalah setiap orang yang berakhlak santri.
Akhlak santri tercerminkan dari makna santri itu sendiri, yang menurut K.H. Daud Hendi (Pengurus Yayasan Ummul Quro) merupakan gabungan dari lima huruf arab: Huruf pertama yaitu huruf sin, saabiqul khair yang berarti pelopor kebaikan, huruf kedua yaitu huruf nun, naasibul ulama yang berarti penerus ulama, huruf ketiga yaitu huruf ta’, taarikul ma’aashi yang mempunyai arti orang yang meninggalkan maksiat, lalu huruf keempat ra’, ridha Allah yakni keridhaan Allah, dan terakhir huruf ya’, yaqiin yang berarti keyakinan.
Pada dasarnya, kegiatan yang ada di lingkungan Masisir tidak jauh berbeda dengan kegiatan yang dilakukan di pondok pesantren, seperti ngaji  hingga organisasi. Bedanya, kegiatan santri di pondok pesantren diawasi 24 jam oleh musyrif. Salat lima waktu berjamaah di masjid, salat tahajud maupun duha, sedekah, dan ngaji rutin dilaksanakan. Diharapkan dengan adanya pengawasan kegiatan tersebut dapat menumbuhkan jiwa santri dan kelak menjadi bekal setelah tamat dari pesantren. Sedangkan di luar pesantren, setiap individu dituntut untuk bertanggungjawab atas dirinya sendiri dalam melaksanakan kegiatan hariannya.
Berdasarkan pengamatan sederhana di lingkungan sekitar, sebagian besar mengatakan masih melakukan rutinitas seperti di pesantren, seperti salat tahajud, duha, dan salat berjamaah. Begitupun Ngaji bersama masyayikh, terlihat dari banyaknya Masisir yang hadir saat pengajian atau talaki berlangsung. Namun, tak menutup kemungkinan bahwa sebagian lain justru melakukan hal sebaliknya. Masih banyak kita temukan Masisir yang jarang salat jamaah di masjid, jarang ikut ngaji atau talaki, bahkan ada yang cenderung melakukan hal-hal yang tidak mencerminkan diri seorang santri, baik dari segi penampilan ataupun pergaulan. Tugas santri sebagai saabiqul khair pun terabaikan. Padahal, seorang santri diharapkan bisa merubah kondisi masyarakatnya; ‘ilman, khuluqan, wa adaban.
Hal demikian sangat kuat terjadi lantaran dipengaruhi oleh dua faktor: Internal dan eksternal. Internal adalah faktor dari dalam diri seseorang. Untuk mempertahankan predikat santri sejati bisa dimulai dari diri sendiri, dengan terus bermuhasabah diri dan selalu berusaha mendekatkan diri pada Allah ‘azza wa jalla. Hal tersebut sejalan dengan makna yang terkandung dalam huruf keempat kata santri, yaitu ra’ (Ridha Allah).
Adapun yang termasuk faktor eksternal adalah lingkungan. Keadaan lingkungan sangat mempengaruhi prilaku seseorang. Lingkungan kehidupan di Masisir pun beragam. Hak setiap individu untuk bergabung di salah satu diantaranya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Perumpaan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628).
Selain itu, perlu kiranya untuk selalu mendekatkan diri kepada para masyayikh. Hikmah dan nasihat yang didapatkan darinya tentu akan sangat berpengaruh dalam kehidupan, sekaligus mengingatkan akan nasihat-nasihat dan pesan-pesan yang disampaikan para kiai di pesantren. Hal tersebut tentunya akan membuat predikat santri melekat di tubuhnya.
Dan yang tak kalah penting dalam mempertahankan jiwa santri adalah saling mengingatkan,  menasihati dan merangkul kembali apabila menemui santri yang mulai melenceng dari koridornya. Jadilah santri yang berjiwa santri, bukan santri yang bertitel santri.    



   

2 komentar: