Breaking News
Loading...

Senin, 22 Oktober 2018

Aktualisasi Nilai-Nilai Kesantrian Warga KKS



          Oleh : Muhammad Fadly Syah

Anggota KKS  adalah orang yang bermukim di wilayah timur Indonesia, meliputi Sulawesi, Maluku, dan Papua, atau keturunan suku-suku dari Indonesia Timur, yang sekarang ini menetap di Mesir. Sebagian besar anggota KKS merupakan alumni pondok pesantren di Sulawesi, Maluku, Papua, dan beberapa pondok pesantren di luar Indonesia Timur. Ada juga beberapa anggota yang bukan lulusan pondok pesantren, tetapi telah mempelajari ilmu-ilmu Islam sebelum berangkat ke Mesir. Intinya, anggota KKS telah mempelajari ilmu-ilmu Islam di Indonesia, baik di pondok pesantren atau tempat lainnya.
Secara sederhana, santri adalah orang yang mendalami ilmu-ilmu agama di sebuah pondok pesantren. Hal ini sebagaimana terdapat dalam KBBI. KH. Mustofa Bisri atau Gus Mus mengatakan bahwa santri bukan yang mondok saja. Menurut beliau, siapapun yang berakhlak seperti santri, maka dia adalah santri. Maka, kata santri memiliki dua makna. Makna pertama yaitu orang yang mendalami ilmu-ilmu agama di pesantren atau istilahnya mondok. Makna kedua yaitu orang yang berakhlak seperti akhlak para santri meskipun tidak mondok.
Jika dilihat dari sudut pandang sebagai pelajar, maka seorang santri tetap menjadi santri yang harus tetap belajar meski telah lulus, karena ilmu tidak mengenal kata selesai. Tugas lainnya setelah lulus adalah menerapkan hal-hal yang telah dipelajari di pondok. KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengatakan, “Kebaikan seorang santri tidak dilihat ketika dia berada di pondok, melainkan ketika dia telah menjadi alumni. Kamu tinggal buktikan hari ini bahwa kamu adalah santri yang baik.” Seorang santri harus menjadi teladan bagi orang-orang di sekitarnya. Bagaimana caranya? Tentu saja dengan cara mengaktualisasikan nilai-nilai kesantrian yang diperoleh dari pendidikan pesantren. Pertanyaannya, apakah anggota KKS yang hampir semua anggotanya adalah santri, telah mengaktualisasikan nilai-nilai kesantrian yang didapatinya?
 Dari aspek pendidikan, anggota KKS tersebar di berbagai jenjang pendidikan. Warga KKS umumnya merupakan mahasiswa Universitas Al-Azhar. Sebagian lainnya menempuh pendidikan di Universitas Kairo, Universitas Liga Arab, dan beberapa lembaga pendidikan lainnya. Mereka berada di jenjang pendidikan sarjana, magister, dan doktoral. Ada juga tempat belajar seperti talaqqi, yang berbeda dengan sistem pendidikan di perkuliahan. Di pesantren, pembelajaran juga terbagi dua, yaitu pembelajaran di kelas secara formal dan pengajian setelah salat subuh dan magrib.
 Anggota KKS secara umum aktif mengikuti perkuliahan. Namun, jumlah anggota yang ikut talaqqi  belum begitu banyak. Salah satu faktornya yaitu ada beberapa orang yang merasa cukup untuk belajar di kuliah saja. Padahal, Universitas Al-Azhar menggabungkan antara jaami' (masjid sebagai tempat talaqqi) dan jaami'ah (universitas). Walaupun bukan hal yang wajib, tetapi talaqqi sangat dianjurkan karena merupakan ciri khusus mahasiswa Al-Azhar atau yang menempuh pendidikan di Mesir.
Dalam hal ibadah, para santri di  pesantren melaksanakan hal-hal yang bersifat wajib serta dianjurkan untuk mengerjakan hal-hal yang sunah. Para santri dengan tertib melaksanakan hal tersebut dengan pengawasan para ustaz. Ditetapkannya aturan demikian dengan harapan agar setelah lulus nantinya, tradisi pesantren tersebut dipertahankan dalam keseharian meski tanpa pengawasan para ustaz, lalu mengajarkannya kepada masyarakat luas. Pada kenyataannya, kita bisa mendapati beberapa anggota KKS memegang teguh tradisi pesantren yang berkaitan dengan ibadah. Namun, jumlah orang yang melaksanakan masih kalah jumlahnya jika  dibandingkan dengan orang-orang yang tidak lagi mengamalkannya.  Sedangkan tradisi ini adalah ibadah yang merupakan penghubung antara hamba dengan Allah Swt..
Dalam lingkup sosial, sebagaimana yang telah dituliskan di atas, Heterogenitas juga terdapat dalam pondok pesantren. Santri-santri berasal dari berbagai daerah, suku dan budaya yang berbeda-beda, dan karakteristik yang berbeda-beda pula. Dikutip dari situs NU Online, perbedaan latar belakang ini memberikan nilai-nilai positif untuk mendidik karakter para santri. Di pesantren  juga dipisahkan antara kampus putra dan kampus putri. Ini bertujuan menghindari interaksi dengan lawan jenis dan menjauhi hal-hal yang tidak diinginkan.
Para santri di pesantren harus berinteraksi dengan santri lainnya. Interaksi ini bertujuan untuk menghilangkan sekat-sekat perbedaan budaya, bahasa, dan perbedaan-perbedaan lainnya. KKS adalah kekeluargaan yang paling luas cakupannya diantara kekeluargaan lainnya. Ini adalah keunggulan tersendiri yang dimiliki oleh KKS. Warga KKS saling berinteraksi satu sama lain tanpa memandang perbedaan latar belakang. Interaksi yang dilakukan juga mengikis fanatisme daerah dan kesukuan yang tersemat dalam diri seseorang. Pesantren secara implisit mengajarkan para santri untuk menghargai perbedaan satu sama lain. Dan ini tercermin dalam interaksi sosial anggota KKS yang majemuk. Hal lainnya yang dipertahankan oleh anggota KKS yaitu mereka mampu untuk meminimalisir pergaulan dengan lawan jenis, sekalipun masih satu kekeluargaan.  Hal ini semoga tetap dipertahankan dan bisa menjadi teladan untuk Masisir secara umum.
Nilai-nilai kesantrian berkisar pada dua hal umum. Yang pertama adalah ibadah atau hubungan seseorang dengan Allah Swt., dan yang kedua adalah sosial atau hubungan seseorang dengan orang-orang di sekitarnya. Hal ini sebagaimana yang dituliskan oleh Abdul Basith selaku pembina Pesantren Annuqayah, bahwa nilai-nilai yang diterapkan para santri mencakup  hablun min an-nas atau membentuk hubungan yang baik dengan masyarakat, sebagai perwujudan luasnya ruang beribadah kepada Allah Swt. atau hablun min-Allah. Anggota KKS sebagai santri harus tetap mengaktualisasikan nilai-nilai santri. Caranya dengan mengamalkan konsep hablun min-Allah dan hablun min an-nas. Dua hal ini bisa terlaksana dengan baik jika didahului dan disertai dengan belajar, baik di kuliah atau talaqqi.
Anggota KKS harus menjadi terdepan dalam hal-hal yang berkaitan dengan ibadah dan aktifitas sosial. Modernisasi yang berlangsung bukanlah penghalang untuk mengaktualisasikan nilai-nilai kesantrian. Untuk merealisasikan hal tersebut, tidak harus secara simbolis dengan menggunakan sarung dan peci dimanapun dan kapanpun. Intinya adalah aktualisasi nilai-nilai kesantrian yang bersifat praktis dan bersatu tanpa memandang latar belakang masing-masing. Apalagi ditengah pengaruh westernisasi yang sulit terbendung, aktualisasi nilai-nilai santri bisa menjadi filter untuk mengambil hal baik dan membuang hal buruk dari westernisasi.

1 komentar:

  1. Keren ini tulisan, mampu merefresh atau menjadi salah satu alat untuk memberikan refleksi terbaik bagi orang yang telah mengikrarkan diri sebagai santri agar apa yang telah ditanamkan oleh para Asatidzah, kembali teraplikasikan.

    BalasHapus