Breaking News
Loading...

Rabu, 19 September 2018

Reaktualisasi Tudang Sipulung



Oleh : Muhammad Fadli Syah

Interaksi antar individu atau kelompok adalah hal yang niscaya dilakukan oleh setiap orang. Mulai dari membincang hal remeh hingga persoalan gajah adalah hal yang lumrah dalam berinteraksi. Bila dulu interaksi menghendaki tatap muka antara pihak yang terlibat, di zaman ini interaksi menjadi lebug mudah. Seseorang dapat terhubung satu sama lain dari tempat  yang berjauhan dengan media sosial. Semisal Facebook, Twitter, Instagram, dan lain sebagainya. Ia telah menjadi tempat interaksi manusia modern alias ruang public.
Dengan ruang publik seabagai media interaksi masyarakat, berabagai persoalan dapat disinggung, diangkat pun diselesaikan. Namun begitu, bentuk ruang publik memiliki beraneka sebutan juga bentuk. Bergantung pada domisili dan kemajuan teknologinya.

Ruang Publik
Sebelumnya, dalam perkembangannya, ruang publik terbagi menjadi dua dimensi. Dimensi pertama sebagaimana dikemukakan oleh filsuf Inggris Ruger Scruton, yaitu ruang publik (public space) sebagai tempat berkumpulnya orang-orang dan di dalamnya berlaku norma-norma tertentu. Dimensi kedua yang merupakan sebuah teori dari filsuf Jerman Jürgen Habermas, yaitu uang publik (public sphere) sebagai realitas kehidupan sosial yang di dalamnya terjadi proses pertukaran informasi dari berbagai pandangan mengenai suatu pokok persoalan umum. Dari prosestadi, akan tercipta pendapat umum.
J
ürgen Habermas dianggap sebagai pencetus utama teori ruang publik. Dia memperkenalkan teorinya  melalui bukunya yang berjudul Strukturwandel der Öffentlichkeit; Untersuchungen zu einer Kategorie der Bürgerlichen Gesellschaft. Buku ini terbit dalam bahasa Inggis berjudul The Structural Transformation of the Public Sphere; an inquiry into a category of Bourgeois Society. Dia mengatakan bahwa ruang publik di Inggris dan Prancis sudah ada sejak abad 18 Masehi. Pada zaman tersebut, orang-orang biasa berkumpul di warung-warung kopi (coffe houses) untuk berdiskusi mengenai buku atau karya seni. Pembahasan mereka bahkan melebar sampai pembahasan mengenai politik dan ekonomi. Sedangkan di Prancis, percakapan seperti ini terjadi di salon-salon.
Konsep ranah publik yang diangkat oleh Habermas ini adalah ruang bagi diskusi kritis, dan terbuka bagi semua orang. Hasil dari diskusi forum ini akan terbentuk suatu opini publik yang berfungsi menanggapi atau mengawasi pemerintahan. Menurut Habermas, dengan adanya proses pertukaran informasi seperti ini di kalangan masyarakat, akan tercipta masyarakat madani yang suka berbagi informasi tanpa paksaan. Di sisi lain, miskinnya ruang publik yang dapat menampung berbagai aktivitas bersama dikawatirkan terjadinya berbagai masalah sosial kemasyarakatan sebagai akibat kurangnya kebersamaan dan sosialisasi antar warga. Masyarakat tidak lagi memiliki ruang bersama untuk saling berinteraksi. Sehingga, budaya kebersamaan dan toleransi semakin terkikis. Habermas optimistis jika ruang publik dapat dihidupkan kembali. Namun, beliau menyadari bahwa ruang publik yang ideal akan tercipta jika semua orang mengakui persamaan sosial dan setiap orang dibekali dengan kapasitas wacana.
Pada dasarnya, setiap tempat memiliki media interaksinya masing-masing. Seperti di Prancis yang telah disinggung di atas semsial. Pun termasuk suku Bugis di Sulawesi. Mereka memiliki raung publik yang disebut denganTudang Sipulung. Media mendiskuikan dan menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakatnya.

Ruang Publik dalam Tradisi Bugis Makassar
Tudang Sipulung hingga kini masih bisa kita temui di beberapa daerah di Sulawesi Selatan. Masyarakat Sulawesi Selatan, sebagaimana daerah lainnya di Indonesia kini telah menggunakan sistem pemerintahan modern. Namun, masyarakatnya sebagai keturunan Bugis, tidak dapat terlepas dari nilai-nilai filosofis dan adat tradisionalnya.
Kata tudang berarti duduk dan sipulung berarti berkumpul bersama. Secara konseptual, Tudang Sipulung merupakan ruang bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi-aspirasi mereka dan juga tempat untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, sehingga diperoleh kata mufakat. Tudang Sipulung menjadi tempat mediasi antara kepentingan publik dan pemerintah. Inilah yang dianggap oleh Habermas sebagai representasi ruang publik politis (political public sphere) pada abad 18 di Eropa, yang telah dilakukan pada masa-masa kerajaan di Sulawesi Selatan.
Di dalam Lontara’ La Toa (naskah klasik suku Bugis Makassar) dijelaskan bahwa ketika kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan mulai bermunculan pada abad ke-14 M, To Manurung (manusia yang turun dari langit) mengadakan Tudang Sipulung dengan para pemimpin kaum untuk membahas mengenai seluruh dasar-dasar pelaksanaan pemerintahan Bugis Makassar. Pertemuan antara raja dan rakyat juga diadakan untuk membahas masalah bersama, konflik tertentu, atau untuk menetapkan rencana. Tudang Sipulung mengenai pertanian yang masih berlangsung sejak abad ke-17 M sampai sekarang terdapat di daerah Sidrap. Tudang Sipulung pada abad ke-17 di Sidrap dipimpin langsung oleh Nenek Mallomo (penasehat kerajaan Sidenreng).
Masuknya agama Islam di Sulawesi Selatan tida
k menghapus adat Bugis Makassar. Islam bahkan menjadi pelengkap sistem adat normatif Bugis Makassar yang disebut dengan pangngadereng. Nilai sistem pangngadereng dilandasi dengan siri’ (malu; sebuah sikap yang bermakna positif). Sebagaimana yang dijelaskan oleh pakar antropolog Bugis Makassar, Prof. Mattulada, bahwa unsur-unsur sistem adat normatif Bugis Makassar yaitu ade’ (adat), bicara’ (pertimbangan atau penafsiran hukum), rapang (hukum perdata), wari (hukum pewarisan), dan dilengkapi dengan sara’ (agama).

Tudang Sipulung Sebagai Solusi
 Tudang Sipulung menjadi solusi bagi masyarakat dalam mengkritisi masalah penyelenggaraan pemerintahan (kekuasaan). Pelaksanaannya dipimpin langsung oleh Matoa (orang yang dituakan menurut adat) dan seluruh hadirin harus menyampaikan pendapatnya, meskipun pendapatnya sama dengan orang lain. Tudang Sipulung berlangsung secara kritis dan rasional karena dilandasi oleh nilai-nilai komunikasi ideal seperti ada’ tongeng (perkataan jujur), lempu’ (perbuatan lurus/jujur), getteng (keteguhan pada kebenaran), dan sipakatau’ (saling menghargai), yang berdasarkan pada nilai-nilai pangngadereng (adat istiadat) sebagai sumber nilai/hukum masyarakat dan pemerintah. Nilai-nilai ini akan menjadi roh dalam setiap pelaksanaan adat Bugis Makassar, utamanya yang berkaitan dengan ruang publik.
Interaksi yang dilakukan masyarakat satu sama lain tidak jarang menimbulkan masalah kecil atau besar. Ruang publik yang baik adalah ruang yang dapat memediasi dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Ruang publik yang tersedia sekarang ini semata-mata hanyalah tempat berkumpulnya masyarakat, belum bisa menjadi tempat mediasi penyelesaian masalah bersama. Dan juga, ruang publik dewasi ini sudah dipengaruhi oleh globalisasi secara signifikan. Maka, ada baiknya kita mempertimbangkan Tudang Sipulung sebagai sarana mediasi untuk memperoleh solusi permasalahan masyarakat.
Masyarakat dan pemerintah kabupaten Sidrap setiap tahun melaksanakan Tudang Sipulung, khususnya masalah pertanian.  Begitu juga dengan masyarakat dan pemerintah kabupaten Luwu. Kedua daerah ini menjadi lumbung padi Indonesia bagian timur. Hal ini salah satunya karena perencanaan dan pemberian solusi mengenai pertanian dimediasi melalui Tudang Sipulung. Organisasi Kemahasiswaan seperti HMJ Fisika UIN Alauddin Makassar dan lembaga negara yaitu Komisi Yudisial Sulawesi Selatan juga tidak lupa melaksanakan Tudang Sipulung dengan alasan esensi yang ada di dalamnya, utamanya silaturahmi dan musyawarah.
Dalam konteks masa kini, Tudang Sipulung bisa disesuaikan dengan kondisi, tanpa menghilangkan esensi Tudang Sipulung itu sendiri. Aktualisasi kearifan lokal bukan hanya untuk meningkatkan nasionalisme dan menjadi filter terhadap perkembangan zaman. Namun, aktualisasi kearifan lokal juga untuk meningkatkan kesadaran bahwa nilai-nilai adat terdahulu juga mengandung  solusi permasalahan masa kini.


1 komentar: