Breaking News
Loading...

Senin, 13 Agustus 2018

Paradoksal Islam Liberal dan Potensi Destruksinya




Oleh: Fikri Haiqal Arif

Gerakan liberal sejatinya bermula dari konflik yang muncul dari penentangan masyarakat Barat terhadap doktrin gereja yang dinilai tidak masuk akal, serta kekuasaan monarki kerajaan yang bertindak semena-mena di Eropa pada masa sebelum RenaisansMenurut Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Abad ke 18 dan 19 adalah era di mana liberalisme lahir dari rahim bangsa Eropa yang semakin mempertanyakan kebenaran obyektif gereja yang terus mengekang kebebasan berpikir.

Inilah awal di mana Barat menemukan momen kemajuannya. Dari sanalah lahir peradaban baru. Peradaban yang maju bahkan mendominasi dunia. Dari sistem yang mengedepankan keraguan dan ketidakpercayaan mengakibatkan pencarian ilmu pengetahuan tanpa henti. Dampaknya politik, ekonomi dan pendidikan terus dikembangkan hingga saat ini.Dari sini peradaban Barat menjadi kiblat keilmuan dunia setelah runtuhnya Turki Utsmani. Dari sisi politik, misalnya, mereka hadir dengan sistem demokrasi dan parlementer. Nah, dari sisi pemikiran, muatan Barat postmodern menawarkan liberalisme. Corak pemikiran inilah yang kemudian hari diadopsi oleh beberapa dari mereka yang mengaku sebagai cendikiawan muslim untuk diterapkan di negara-negara muslim yang notabene adalah negara ketiga.

Sebelum melangkah ke pembahasan mengenai liberalisme, ada baiknya apabila kita melihat kepada arti liberal secara terminologi. Sebagaimana yang dikutip dari Wikipedia, liberalisme adalah mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, terlebih kebebasan berpikir bagi para individu dalam masyarakat tersebut. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan. Dari sini, kita amini bahwa, liberalisme yang mendorong setiap individu untuk berpikir adalah hal yang positif. Terlebih seruan berpikir adalah manifestasi dari ayat-ayat suci al-Qur’an seperti afalaa yatadabbarun, afalaa ta’qilun dsb. Namun, liberalisme yang menuntut kebebasan sebebas-bebasnya menjadi masalah ketika ia dibawa ke ranah agama yang bersifat aksiomatik. Yang mana di dalamnya berhubungan erat dengan pembahasan metafisika yang sulit disentuh oleh logika.

Munculnya kelompok yang mengatasnamakan Islam Liberal beberapa tahun lalu memberikan tanda tanya kepada kitaMengapa Islam bisa disandingkan dengan Liberal? Ditilik dari pemaknaan liberal yang berarti bebas jelas mengabarkan bahwaIslam Liberal memiliki kontradiksi arti. Islam yang merupakan agama yang dibangun atas dasar kepatuhan kepada Sang Pencipta, tidak bisa disandingkandengan kata bebas. Sebab tidak ada kepatuhan yang bebas pun sebaliknya, tak masuk logika bila ada yang mengatakan ada kebebasan yang patuh.
Sebagai contoh, kita pernah mendengar salah seorang pentolan JIL (Jaringan Islam Liberal) mengatakan bahwa shalat itu cukup dengan dzikir. Tak perlu mengerjakan 13 rukun shalat yang kita pelajari di dalam fiqh. Sebab esensi shalat adalah dzikir. Nah, menurut mereka apabila esensi sudah tercapai tidak perlu lagi untuk melaksanakan 13 rukun tersebut. “Fatwa” ini  mereka lontarkan dengan landasana al-Qur’an yang berbunyi,
 (و أقم الصلاة لذكري" (طه١٤         

Padahal pada aplikasinya, shalat sebagaiamana yang tertera di dalam hadis, telah ditetapkan sebagai bentuk ibadah yang diawali dengan takbiratulihram dan diakhiri dengan salam.  Bentuk ibadah yang turun dari jalan wahyu jelas tak bisa diukur keboleh-tidakannya dengan logika. Sebab hal itu bersifat aksiomatis. Maka, dampak dari berpikir bebas dalam beragama seperti di atas, hanya menyebabkan paradoksal dalam beribadah dan perpecahan di dalam tubuh umat Islam. Oleh karenanya, penyandingan Islam dengan kata liberal tidaklah tepat.

Potensi merusak ini, pada fase selanjutnya justru digunakan oleh kaum Yahudi dan Kristen sebagai alat untuk menyerang Islam dari dalam. Anehnya lagi, kaum muslimin malah belajar agama kepada Barat, yang notabene menjadi pabrik liberalisasi pemikiran dunia.Dari penerimaan umat Islam akan paham liberal, Barat masuk sebagai neo kolonial melemahkan pemikiran umat Islam. Maka muncullah mereka yang berani mengatakan bahwa Islam itu bebas, Islam itu universal, semua agama sama (pluralism agama). Dan bum, lahirlah istilah fikih lintas agama, berdakwah di gereja dll.

Sejalan dengan visi yang berada di balik tujuan kaum liberal, mereka menyuarakan Islam yang bebas. Padahal Islam sebagai agama, hadir sebagai tutorial hidup manusia agar terarah. Bila umat manusia menjunjung kebebasan, kemudian untuk apa agama diwahyukan? apa maksud diutusnya nabi dan rasul? Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ini menjunjung tinggi logika, berpikir dan bernalar. Bahkan, agama bukan lagi sebagai doktrin, tapi juga ilmu. Akan tetapi sebagai manusia yang jangkauan berpikirnya dibatasi oleh kemampuan logikanya masing-masing, diberikan batasan kebebasan agar tidak kebablasan. Sehingga kebebasan yang dimiliki,  memberi maslahah dan tidak bedampak menjadi masalah. Sebagaimana kasus di atas. analogi ringan yang dapat kami tawarkan dalam tulisan ini adalah bagaimana mungkin semarak keseruan Sepak Bola dalam Asian Games 2018 dapat tersaji dengan baik, tanpa adanya  wasit yang mengatur jalannya pertandingan selama kurang lebih Sembilan puluh menit, mengawasi pemain agar  sportifitas tetap terjaga. Dapat kita bayangkan sekiranya pertandingan sepak bola yang berjalan tanpa aturan. Demikian pula dengan setiap agama, ia datang bukan untuk menghalangi dan mengukung kebebasan setiap pemeluknya, melainkan dengan aturan syariat yang ditetapkan, hidup para penganutnya menjadi terarah.

Dari sini, bahaya liberalisme beragama merupakan keniscayaan. Ia dapat merusak tatanan agama Islam yang sudah baku. Sehingga umat muslim perlu membangun benteng yang kokoh supaya tidak mudah disusupi dengan pemahaman tersebut. Atau bahkan mampu membalikkan pemahaman liberal dengan tawaran pemikiran baru yang bersumber dari Islam.