Breaking News
Loading...

Selasa, 11 April 2017

Cerita Bersambung: Menjemput Cinta Al-Azhar

Hawa dingin pagi hari begitu kuat menyapa, kaca-kaca jendela juga ikut berselimut embun. Ingin rasanya kugapai, hendak menoleh pemandangan luar, namun bantal gulingku ikut sayup membisikkan kata rayuan ingin kudekap. inilah kebiasaan saya dan teman-teman beberapa pekan terakhir, pembaringan rasanya seperti istana dan kamilah rajanya. Eits.. tapi bukan kami kesiangan yah, hanya saja kami perlu istirahat setelah perang melawan dingin subuh tadi, ketika hendak menunaikan shalat subuh di masjid samping apartemen yang kami tinggali.
Ini adalah kali pertama saya merasakan musim dingin, sebab tanah lahir saya hanya ada musim hujan dan kemarau. Meski begitu, kami tetap rindu kampung halaman kami. Musim hujan tak kalah dengan salju di negeri orang. Kemarau pun, walau sering berkepanjangan, tapi rasanya mereka yang ada di belahan Afrika sana harus lebih sabar dari kami menjalani ujian alam, memberikan gambaran keadaan padang mahsyar kelak.
Situs dan keindahan alam memang ada di banyak tempat. Bahkan sering menjadi ciri khas suatu negeri sehingga perkenalannya secara tidak langsung dengan banyak orang. Maka tak sedikit dari pelancong asing akan merogoh kocek mereka demi melihat sajian-sajian alam sebagai hidangan penyejuk hati. Tak terkecuali negeri piramida. Negeri tumpangan untuk beberapa tahun kedepan saya mengarungi hidup.
Tepat lima bulan yang lalu, saya menginjakkan kaki di negeri ini, Mesir. Berpisah dengan keluarga, berada jauh dari kampung halaman. Masih kuat dalam benak, lambaian tangan dari orang-orang yang mengiringiku dahulu saat hendak bertolak meninggalkan tanah air. Dengan tekad kuat sekuat baja, sepertinya peluru macam apapun, tak akan membuatku goyah untuk melangkah pergi menjadi rantau di negeri orang.
***
“tidak usah jauh-jauh nak, cukup di negeri sendiri. Kan banyak tuh kampus yang bagus. Walau di mana kamu belajar, itu sama saja. Tergantung kamu mau sungguh-sungguh apa tidak”.
“tapi bu…”
Belum sempat saya bicara banyak, ibu langsung menyambung.
“kalau mau, kamu bisa lanjut di UIN Ar-Raniry, di Banda. Ibu ada beberapa kenalan di sana. Nanti mereka bisa bantu”.
Rasanya sudah tidak sanggup lagi saya menimpali perkataan ibu terhadapku, setelah kuadukan akan lanjut di mana setelah lulus dari pesantren nanti. Saya takut ibu jadi sedih, walaupun saya tahu, kalau keinginan ibu agar saya tetap kuliah di Indonesia, itu semua karena ibu tidak mau saya berada jauh darinya.
Selanjutnya, saya menutup laptop yang sedari tadi kuutak-atik, mencari pengumuman beasiswa ke luar negeri, mulai dari Eropa yang jadi impian banyak orang, sampai ke Timur Tengah sekolah para ualama. Laptop yang selama dua tahun terakhir menemani saya, termasuk menyalurkan bakat menulis yang saya punya. Bukan dari pemberian ayah ataupun ibu, laptop ini adalah hasil dari juara satu lomba menulis cerpen mewakili pondok yang diadakan Bupati Pidie memperingati hari pendidikan nasional yang lalu.
“Arif tidur duluan bu, besok harus balik ke pondok lagi”.
“owh yah, ibu lupa ngasih tau. Di UIN itu ada Dr. Saifuddin, adik pimpinan pondokmu, Kyai Agus Salim, nanti kamu juga diajar sama dia. Orangnya pintar dan alim juga”.
“iya bu.”
 Jawab saya sambil berlalu menuju ke kamar tidur.
***
“rif, bangun. Sudah ashar loh, nih sebentar lagi mau maghrib”
Saya terperanjat mendengar perkataan fatih.
“maghrib?? Astagfirullah. Saya belum shalat dzuhur juga” jawab saya sambil menarik handuk kecil yang selalu saya letakkan di atas kursi
“udah cepetan wudhu, sekalian shalat dzuhurnya”
Sebagai lulusan pesantren, tentu saja kami tahu. Kalau ketinggalan shalat karena tertidur bukan dosa. Hanya saja kita harus mengganti. Itu menurut madzhab syafii, madzhab yang dianut pondok As-Salam tempat saya menimbah ilmu selama enam tahun. Sedikit banyaknya yang saya tahu tentang perkara agama, itu semua saya dapatkan dari pengajaran para kyai di pondok dahulu. Saya bersyukur bisa merasakan kehidupan pesantren, belajar agama Allah. Lebih dituntut untuk hidup dalam kesederhanaan. Mengikuti sang junjungan Rasulullah SAW.
“bagaimana, sudah selesai shalatnya?? Tanya fatih yang sedari tadi fokus dengan kacamata khasnya, menyingkap lembar demi lembar buku yang ada di genggamannya.
“alhamdulillah sudah. Tadinya mau qailulah, eh malah kebablasan. Untung ada kamu yang bangunin, kalau tidak, bisa sampai isya saya tidur”
“hehehe… sekali mendayung dua tiga pulau terlampau, sekali tidur dua tiga shalat terlewati”.
Timpalnya balik seraya kami ikuti  gelak tawa secara serentak dengan Farhan yang juga dari tadi tidak kalah oleh fatih mengorek habis buku berbahasa arab, dan tampak jelas dari sampulnya berjudul Al-Imta’ Syarhu Matn Abi Syuja’. Buku fikhi yang dibagikan oleh salah satu syekh awal kami tiba di Mesir.
Teman saya yang satu ini memang luar biasa, pondoknya saja salah satu pondok ternama di Jawa. Maka tidak heran kalau buku berbahasa arab itu dilahapnya seperti sedang membaca buku dengan bahasa sendiri, Bahasa Indonesia. Inilah takdir Allah, mempersatukan kami yang notabene dari daerah yang berbeda. Fatih dari Sulawesi, Farhan yang tulennya Jawa dan saya sendiri dari Sigli tepatnya Kabupaten Pidie Provinsi Aceh.
Tapi saya masih heran dengan Farhan, bapaknya yang bos perusahan properti dan memiliki banyak cabang, malah menyuruh Farhan masuk pondok. Berbeda dengan orang tua biasanya, yang bisa dibilang sepadan atau lebih dari orang tua Farhan. Tapi  itulah hidayah. Kapan, dimana atau pada siapa saja Allah memberinya. Termasuk orang tua teman saya Farhan.
***
Saya Arif, Muhammad Arif Rahmatullah. Nama pemberian orang tua yang menginginkan anaknya menjadi anak berbakti, menjadi kebanggaan bangsa dan agama. Cita-cita terbesar ayah saya hanya ingin anaknya menjadi seorang yang ahli dalam agama, lebih tepatnya menjadi ulama. Mungkin alasan inilah yang menyebabkan orang tua saya menyuruh masuk pondok dan belajar kepada kyai.
“besok kamu ikut saya ke rumah ustad As’ad, kita silaturahmi ke sana”
tegur ayah menghentikan lamunan saya.
“iya yah…” saya menuruti kata ayah.
Keesokan harinya ayah benar mengajak saya pergi, dua jam perjalanan cukup melelahkan ketika harus mengendarai sepeda motor diawasi matahari yang teriknya ikut menyiksa. Akhirnya kami sampai juga di rumah ustad As’ad, teman ayah saat menjadi santri di pondok yang sama. Tapi begitulah garis kehidupan setiap orang, sama berjalan tapi sampai tak bersatu, ustad As’ad menjadi pengajar di pondok As-Salam setelah melanjutkan kuliah di Al-Azhar, sedang ayah harus menerima konsekuensi hidup, pasrah menetap di tanah kelahiran membantu orang tuanya di ladang.
Walau bisa hidup dengan bertani dan mampu menabung dari hasil pertanian. Tapi semua berubah pasca tiga tahun lalu ketika bencana besar melanda Aceh. Tsunami yang benar-benar merubah semuanya, tak terkecuali rumah yang menjadi tempat tinggal kami. Sawah dan ladang semuanya habis. Uang yang dulunya ditabung ayah untuk keperluan hidup dan sekolah saya, harus kami alihkan untuk membangun tempat tinggal baru.
Pembicaraan orang dewasa belum mampu saya cermati secara keseluruhan di usia yang masih anak-anak ini, tetapi dari percakapan ayah dengan ustad As’ad, menuntun agar saya memahami nasib kedepannya, kalau ayah ingin memasukkan saya ke pondok pesantren melalui bantuan rekannya ustad As’ad.
“Sad,” panggilan akrab ayah saya kepada ustad As’ad.
“memang sekarang banyak pondok pesantren, tapi kamu tahu sendiri kan? beberapa dari pondok pesantren itu sudah keluar jalur. Bahkan ada beberapa yang hanya mampu dijangkau oleh orang-orang tertentu saja. Yah, yang secara finansial mereka itu golongan elit. Rasanya ini sudah tidak rasional lagi Sad”.
“iya, saya juga berfikir demikian” tukas ustad As’ad sembari menganggukkan kepala ke atas dan ke bawah, menggambarkan sosok yang begitu tenang perangainya.
“tapi, alhamdulillah. Masih ada pondok As-Salam dan tentunya beberapa pondok lain yang menerima santri tanpa biaya yang tinggi. Melihat kondisi kami ini, rasanya sudah tidak mampu untuk membiayai si Arif kalau harus masuk ke pondok yang butuh biaya besar”.
“masukkan saja ke As-Salam,” ucap ustad As’ad
“itulah tujuan saya kemari, saya ingin menitipkan si Arif kepadamu. Tolong bimbing dia Sad, mudah-mudahan jadi ulama besar”. Ayah menimpali dengan penuh harap.
“amin, insya Allah”. kata ustad As’ad ikut mendoakan.
Sebulan setelah kunjungan kami ke rumah ustad As’ad, akhirnya ayah membawa saya ke pondok As-Salam. Tempat saya menimbah ilmu dari banyak kyia selama enam tahun lamanya. Saya belajar banyak hal, bukan hanya ilmu agama, akan tetapi ilmu sosial dan excat juga saya pelajari di sana. Termasuk bakat menulis saya muncul dan saya asah melalui bimbingan para ustad dan pengajar yang lain.

Pondok pesantren As-Salam termasuk pesantren yang langka di negeri Indonesia, pesantren yang cukup besar ini mampu menyerap tenaga pengajar yang rata-rata lulusan timur tengah, termasuk ustad As’ad. Namun satu hal yang menarik dari pondok karena tidak membebankan sedikit pun biaya kepada para santinya. Dari ustad As’ad lah saya banyak mendapat cerita tentang Al-Azhar, lembaga pendidikan tertua dunia yang menganut faham wasatiyah dengan manhaj ahlu Sunnah wal jamaaah, hingga akhirnya saya bercita-cita untuk mengecap pendidikan di sana...bersambung