Breaking News
Loading...

Selasa, 18 Agustus 2015

Memang Susah



Betapa tidak susah. Dingin yang menusuk, panas yang menyengat harus engkau jalani. Betapa tidak susah. Empuknya kasur, nyenyaknya tidur, nikmatnya makan dan asyiknya dunia maya harus engkau tinggalkan. Engkau harus tinggalkan semua kenikmatan itu. Iya, harus.

Ilmu menuntut itu semua. Menuntut engkau bersakit-sakit, berperih-perih menggantang peluh. Ilmu menuntutmu tak boleh berhenti hingga engkau bisa menghitung dengan mudah jumlah rusukmu.  Itulah sebabnya Yahya Ibnu katsir selalu berkata la yustatau al ailmu birahah al jismi, tak akan pernah engkau dapatkan ilmu dengan bersantai.

Tapi hanya dengan itu engkau menyejarah. Engkau akan tercatat dalam barisan para pejuang dan pewaris para nabi. Mesti seperti itu agar tidak jadi sampah. Harus dengan itu jika engkau ingin membangun duniamu. Tak ada cara lain jika engkau ingin selamat akhiratmu. Iya, mesti dengan ilmu. Tapi disinilah masalahnya, ilmu terlalu kikir, ia mahal.

Susah memang jika setiap hari berpuluh menit engkau harus berdiri “melawan” delapan puluh coret. Siapa yang bilang gampang duduk mendengar dosen yang hampir semua kata-katanya tak difahami. Tapi itulah ilmu. Ia kikir, tak akan memberimu hingga engkau menyerahkan semua yang engkau miliki.

Maka Imam malik menjual atap rumahnya sebagai modal mencari ilmu. Yahya bin Main pun berkata,”saya mendapatkan warisan  ayah berjuta-juta dirham, semua habis hingga yang tersisa adalah sandalku.” Iya seperti itulah ilmu. Engkau harus mengeluarkan semuanya. Engkau harus tinggalkan semuanya, egomu, gengsimu bahkan cintamu.

Ini cerita lain lagi, tentang perjuangan mengejar ilmu juga, tapi ia lebih dahsyat. Baqi’ bin 
Makhlad Al Andalusi namanya. Dua tahun ia berjalan dari Andalusia ke Irak untuk menemui Imam Ahmad bin hanbal. Bukan kepalang sakit hatinya saat tiba di Irak. Tak bisa ia menemui Imam Ahmad sebab menjadi tahanan rumah. Ia berpikir beribu  kali untuk bisa mendapatkan ilmu dari sang Imam. Akhirnya ia menjadi seperti pengemis. 

Berhari-hari, berbulan bahkan bertahun ia menjalaninya. Bajunya  compang camping, datang kepintu Imam Ahmad bin Hanbal dan berpura-pura meminta sedekah. Sang Imam pun membacakan padanya satu hadis. Iya, hanya satu tiap hari. Tapi itu sangat berharga baginya sebab itu ilmu.

Sekarang saya ingin bercerita tentang kita, tentang penderitaan kita, kesusahan kita di sini, di negeri ini, di Mesir ini. Sungguh ia tak ada nilainya dengan mereka yang telah menjadi Imam besar itu.  Kita selalu menyerah kalah pada keadaan. Pasrah pada tantangan. Tragisnya, kita tidak sadar bahwa kita telah menggali kuburan kita sendiri. Kita kuburkan masa depan itu di sini.

Padahal di sana, di negeri kita, orang tua kita, keluarga dan masyarakat merindukan dengan penuh harap. Mereka selalu bercerita bangga tentang anak-anaknya yang katanya belajar di Al Azhar.

Mereka tersenyum sendiri membayangkan anak-anaknya yang akan pulang menjadi orang. Yang akan menjadi seperti para sahabat. Yang akan mengajari mereka tentang Islam yang sesungguhnya. Yang akan menjadi contoh buat adik-adinya, keluarganya, yang akan membangun masyarakatnya. Yang akan memberikan pencerahan lewat ceramah dan tulisannya. Lewat pidato dan khutbahnya. Lewat orasi dan pengajian. Lewat akhlak dan baik budinya. Maka tak ada lagi kata letih, tak ada panas apa lagi hujan di mata mereka. Istirahat tidak pernah cukup. Bahkan mengutang mereka lakukan. Demi anakku yang kuliah di Al Azhar, itu kata orang tua kita.

Sepenuh mulutnya orang tua kita tersenyum, ia bercerita pada tetangga, pada kawan sekerja, pada penjual sayur yang lewat depan rumah, pada rekan bisnis dan semua bahwa saya punya anak kuliah di Al Azhar. Di cairo , di Mesir, luar negeri.

Tapi sayang, kita mengkhianati kegembiraan mereka. kuliah kita hanya cerita tanpa makna. Ternyata Kita belum berilmu, malah makin bodoh. Membaca kitab tak tahu, penuh salah dan memalukan. Tampil berbicara ketakutan, gemetar dan keringat dingin. Memipin organisasi tidak becus. Diminta menulis kita beralasan seribu satu macam. Padahal bukankah sudah seharusnya mahasiswa mampu melakukan semua itu. Apalagi mahasiswa luar negeri.  Yang paling menyakitkan ternyata akhlak kita makin hancur. Kita semakin tidak bisa menjadi contoh.

Kita mengaku kuliah tapi tidak mengenal wajah dosen. Jangankan tahu karakter dan ilmu mereka, namanya pun kita tidak tahu. Yang kita kenal baik hanyalah syuun kuliah, kita hafal betul mereka sebab merekalah penyelamat. Penyelamat yang akan memberikan tasdik untuk visa agar bisa lebih lama di Mesir. Sebab Mesir enak, tak ada beban, tak ada tanggung jawab. Kita datang kekuliah hanya untuk ujian sebab takut rasib yang menyebabkan beasiswa berkurang atau  terputus.

Seharusnya kampus adalah tempat yang selalu kita rindukan. Apalagi kampus kita, ada masjid Azhar yang setiap waktu ilmu dibagi garatis. Di sana ilmu itu disebar tak kenal henti. Kita saja yang tak tahu diri serta tak punya hati. Ke kampus itu penting, meskipun tak beroleh ilmu engkau kesana, namun engkau beroleh semangat. Ada kesadaran baru yang akan timbul bahwa ternyata saya ini penuntut ilmu. Ternyata kesadaran dan semangat ini yang banyak hilang bahkan telah mati. Sebab kita terlalu banyak membangun lingkungan orang-orang penganggur dan pemalas. Akibatnya tak ada gairah untuk membaca lagi, tak ada semangat untuk menambah ilmu, tak ada rindu untuk menjadi lebih. Kita pun kerdil, akal tumpul, hati gelap, nurani mati dan tinggallah penyesalan.

Kita bermimpi untuk jadi ulama tapi usaha kita tak ada artinya. Hanya tangtangan kecil yang menghadang tapi mati sudah nyali ini. Padahal dulu Imam Syafii mengumpulkan tulang di jalanan Madinah untuk ditulisi agar ilmu tidak ia lupakan. Imam Ahmad berjalan dari satu negeri kenegeri yang lain hanya untuk menanyakan satu hadis. Imam Bukhari pernah tiga hari tidak datang belajar, saat kawannya datang menjenguk ternyata ia tak berpakaian sebab tak ada uang lagi membeli baju. Semua ludes untuk mencari ilmu.

Memang harus menderita kita mencarinya. Tapi setelah itu ilmu akan memberikanmu derajat yang sangat tinggi. Lihatlah nama-nama ulama di atas. Beratus bahkan beribu tahun ia sudah meninggal tapi hingga hari ini ia masih hidup. Di ruang kelas dan di masjid-dimasjid ia masih mengajar. Kata-katanya abadi sebab dulu mereka tak pernah menyerah. 


Sumber : Wawasan 
Oleh : Abu Ahya’ en Nadhrah