Breaking News
Loading...

Senin, 08 September 2014

Mendamaikan Akademi dan Organisasi

               
"Saya belum merasa sebagai penuntut ilmu sejati.  Saya juga bukan aktifis organisasi.  Namun, apa yang saya kemukakan pada dasarnya berangkat dari pengalaman pribadi agar menjadi "pekerjaan rumah" (PR) bagi seluruh individu masisir, terlebih diri saya sendiri."

Menjadi insan akademis adalah sebuah Anugerah.  Waktu menjadi miliknya untuk belajar, menggali ilmu, dan memperkaya wawasan.  Seorang akademis tidak punya "masa pensiun", sehingga seluruh waktu dan pikiran tercurah untuk kepentingan pengembangan dan penyebaran pengetahuan.

Namun, tanggung jawab seorang akademis tidak hanya sampai di situ.  Menghabiskan waktu hanya untuk menela'ah bukanlah satu-satunya tugas dan kewajiban.  Lebih dari itu, ia dituntut untuk peka terhadap lingkungan dan masyarakat luas.  Atas dasar inilah ia juga perlu berpengalaman dalam organisasi.

Banyak didapati seseorang menjadi akademis dan organisator sekaligus.  Di Mesir, misalnya, keberadaan mahasiswa Indonesia pun tidak lepas dari aktivitas organisasi.  Kekeluargaan, almamater, ataupun kelompok studi, menjadi wadah bagi mahasiswa untuk menyalurkan naluri sosial mereka sekaligus menjadi daya tampung aspirasi para anggotanya.Sayang sekali, organisasi yang bersentuhan langsung dengan tempat belajar tersebut -Al Azhar- tidak bisa diakses oleh mahasiswa asing.  Al Azhar punya Ittihad Thalabah, tapi organisasi kemahasiswaan itu tidak boleh -atau mungkin tidak mau- merangkul mahasiswa asing.  Suatu ketika sebuah artikel tentang Ittihad Thalabah di salah satu buletin masisir mengatakan bahwa ia "antara ada dan tiada".  Artinya, sosialisasi aktivitas organisasi tersebut tidak terpublikasi luas kepada seluruh mahasiswa asing dan hanya terbatas pada mahasiswa Mesir.  Di kampus pun tidak ada koran dinding atau media semacamnya bagi mahasiswa sehingga aspirasi dan pemikiran mahasiswa Indonesia, misalnya, harus tersalur melalui sebuah prosedur, dalam hal ini PPMI dan KBRI.

Hal inilah sehingga organisasi masisir menjamur dengan beragam kelas.  Namun organisasi masisir tersebut sudah cukup sebagai ruang penting bagi akademis dalam proses belajarnya.  Organisasi tidak lain merupakan ruang mengaktivasikan kesadaran seorang pembelajar bahwa ia adalah makhluk sosial di mana segala pemikiran dan potensi yang dimiliki sejatinya berdampak sosial pula.
  
Lantas bagaimana dengan akademis non-organisator?  Apakah dengan waktunya untuk menela'ah saja lantas ia dianggap bukan seorang pembelajar sejati?  Apakah hal itu menjadikannya dicap tidak memiliki jiwa sosial? Sesungguhnya banyak hal yang perlu menjadi perhatian pelajar Indonesia berkaitan keberadaannya di Mesir dan jika kembali nanti.  Saya menyebut "jika kembali" karena sangat memungkinkan ada sebagian pelajar dan orang Indonesia yang berniat menghabiskan seluruh hidupnya di negeri Fir'aun ini.

Bagi sebagian orang tinggal di Mesir adalah sebuah kenikmatan.  Tidak perlu pusing dengan segala perkara yang "sangat Indonesia".  Akses internet mudah dan murah.  Kumpul-kumpul, makan-makan, jalan-jalan, nonton, dan berbisnis ria menjadi alasan lain bagi mereka yang menganggap enaknya hidup di Mesir.
   
Lalu ada dua tipe lain.  Ada yang merasa tinggal di Mesir sangat menjenuhkan.  Berlama-lama hidup di Mesir tidak berguna dan menghabiskan waktu begitu saja.  Mau kerja dan buka usaha susah.  Lingkungan tidak menyenangkan.  Cuaca tidak enak.  Debu di mana-mana.  Paling parah adalah proses ijra'at yang melelahkan dan muamalah orang Mesir yang tidak mengenal kepercayaan.  Sementara itu, sebagian lagi merasa biasa saja, tidak peduli dan tetap asyik berkutat dengan aktivitasnya sendiri.

Namun, pernahkah kita berpikir apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia?  Eksistensi pelajar Indonesia di Mesir pada hakikatnya menyimpan harapan bagi masyarakat yang ditinggalkannya.  Pelajar Indonesia di Mesir seharusnya lebih peka terhadap hal-hal yang dituntut menyangkut posisinya sebagai seorang pembelajar.  Ia harus sadar akan tantangan di negerinya sendiri.  Hal-hal yang harus dibenahi ternyata lebih banyak dari waktu yang dimiliki.

Ada beberapa hal yang patut dicermati.  Seorang teman saya menyebutkan: "di Indonesia lulusan Mesir sangat banyak, tetapi sangat kurang dari mereka yang benar-benar paham dan melek akan kepekaan sosial, buktinya ketika kembali banyak dari mereka yang sedikit gelagapan berhadapan dengan kondisi kemasyarakatan sesungguhnya". 

Di lain waktu seseorang menceritakan pengalamannya: "saya betul-betul mensyukuri kepulangan saya yang lebih cepat, saya tidak menyesal dengan keputusan saya melanjutkan kuliah di Indonesia, saya sudah bisa membaca situasi belajar di Mesir dan sekarang saya mengomparasikannya dengan metodologi belajar di Indonesia yang sistematis, saya juga merasa lebih berharga sebagai seorang akademis karena saya bisa lebih bermanfaat bagi masyarakat dengan menjadi pengajar disamping sebagai mahasiswa".

Apa yang terurai di atas tidak bermaksud mengatakan bahwa pelajar Indonesia di Mesir tidak lebih baik dari mereka yang belajar di Indonesia atau negara lain.  Bagi mereka yang aktif berorganisasi hal itu menjadi pembelajaran untuk lebih mengaktualisasikan diri menghadapi masalah-masalah sosial.  Sementara non-organisator tidak serta-merta dinilai pasif karena proses belajar yang mereka lalui saat ini pada akhirnya akan dituntut untuk bernilai kongkrit dan ril.  Baik pihak pertama maupun kedua, setiap yang mengaku sebagai seorang pembelajar di Mesir setidaknya memiliki sensitivitas terhadap tuntutan zaman yang dihadapi bangsanya sendiri.

Siapapun dia, selama mengaku sebagai pelajar di Mesir, punya potensi besar untuk berkembang di tengah masyarakatnya sendiri.  Kita punya nilai plus dibandingkan mereka di tanah air, karena selain disusupi oleh ilmu-ilmu keagamaan, kita juga ditempa oleh lingkungan serta bahasa dan adat yang berbeda.  Ditambah lagi banyaknya pilihan lembaga kursus dengan native speaker, spot-spot untuk belajar seni dan budaya Mesir, pelatihan-pelatihan yang sering diadakan oleh berbagai organisasi masisir untuk menambah wawasan dan skill, serta kelompok-kelompok studi bermacam disiplin ilmu, semuanya adalah bekal untuk memperkaya potensi hingga menjadi apa diri kita nanti.  Contoh kongkritnya, beberapa di antara mereka yang pernah belajar di sini mampu berbagi ilmu, berdakwah dan berwirausaha sekaligus.

Karena itu, dua tipe tersebut sama pentingnya bagi kemaslahatan umat.  Dalam hal organisasi, di Indonesia organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan yang berbasis dakwah dan pendidikan sangatlah dibutuhkan.  Sebut saja NU dan Muhammadiyah, keduanya memiliki peran besar dalam menangani kompleksnya masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia yang tentunya di-back up oleh kader-kader kompeten.  Sementara dalam hal pengembangan keilmuan, saat ini pusat penelitian dan pengembangan studi Islam terbesar dan terlengkap di Indonesia belum ada karena SDM yang tidak teroptimalisasi baik dan Indonesia sangat membutuhkan itu.  Maka kedua hal tersebut di atas paling tidak menjadi acuan untuk lebih memelekkan diri terhadap situasi di Indonesia.

Inilah tantangan seorang akademis.  Tidak adanya "masa pensiun" menjadikan seluruh tugas dan tanggung jawabnya diperuntukkan untuk kepentingan bangsa dan negara.  Berorganisasi penting karena ada nilai-nilai sosial di sana, tetapi tidak sampai menyita hak aktivitas belajar yang menjadi prioritas utama.  Menghabiskan waktu untuk studi dan mengikuti kajian terlebih lagi pentingnya karena merupakan tujuan awal, namun jangan sampai dilakukan hanya untuk kepentingan dan tendensi individual.  Satu hal yang tak kalah penting, kenikmatan hidup di Mesir jangan sampai membuat kita "merem" tanpa arti hingga batas waktu yang tak menentu.

Apa yang hendak saya tarik sebagai poin adalah pentingnya optimalisasi potensi diri.  Ketika seseorang mengetahui apa yang menjadi kekurangannya maka ia hendaknya menemukan apa yang menjadi nilai plusnya agar tidak tergerus oleh zamannya sendiri.  Seorang akademis-organisator bisa menyelaraskan kedua jalannya agar tidak terjadi yang saya sebut sebagai "simbiosis parasitisme".  Di lain pihak, akademis non-organisator mengefektivitaskan waktunya dengan banyak meneliti dan memperkaya khazanah keilmuwan dan skill yang praksis, berbasis manfaat, bernilai kongkrit, dan dirasakan hasilnya oleh masyarakat.


Sumber: Wawasan
Oleh: Ahmad Umar Yahya,