
Dua unsur diatas yang menjadikan
kita harus dihadapkan dengan berbagai permasalahan keumatan dari berbagai sisi,
janganlah kita berbicara politik, ekonomi, sosial dan lain lain, masalah yarng
remeh temeh saja sudah membuat dahi terus mengkerut bukan disebabkan faktor
penuaaan namun karna rasa miris yang sangat membekas. Miris bukan, ketika
kebanyakan masjid masjid yang diyakini menjadi tempat suci namun kebersihan
toiletnya memprihatinkan? Yang menjadi pertanyaan dimana letak ejewantah nilai
nilai agama terhadap peraktik sosial kemasyarakatan dari sisi lingkungan hidup?
Padahal masjid adalah tempat dimana Al qur’an dihafalkan, hadist dikaji, kitab
kitab karya ulama klasik diajarkan namun ia belum bisa diterjemahkan secara
konprehensif didunia nyata.
Dari permasalahan permasalahan
yang dihadapi sebenarnya umat ini tak cukup diam banyak pergerakan pergerakan
yang dibuat baik yang terlembagakan maupun yang tidak, dan ini dari berbagai
sisi, politik, pendidikan, ekonomi dan lain lain.
Kita patut bersyukur dan perlu
mendukung bagi siapa saja yang ingin berjuang atas berbagai maslah ini, namun
ada satu hal yang kadang terlupa yaitu sebelum berperang bukanlah kita butuh
armada yang cukup? Peralatan perang yang mumpuni? Pahlawan pahlawan yang
tangguh? Sebelum kesawah bukankah kita butuh cangkul, parang, bahkan bekal agar
kita bisa bekerja dengan baik dan kuat mulai dari pagi sampai matahari senja?
Analogi ini penting karna tak
sedikit dari pergerakan yang katanya memperjuangkan Islam mengatasnamakan diri
sebagai gerakan dakwah? Dakwah itu tak ada bedanya dengan berperang, bercocok
tanam atau kegiatan kegiatan yang lain yang membutuhkan keahlian dan kesiapan
yang matang. Apa yang terjadi jikalau berperang tidak dikomandoi orang sekaliber Khalid bin
Walid? Apa yang mau digarap disawah kalau cangkul lupa terbawa?
Yusuf Al Qardhawi dalam bukunya
yang berjudul Tsaqafah ad Daiyah (wawasan seorang da’i) juga
menganalogikan berdakwah seperti membayar zakat, kalau harta anda belum
mencapai nisab bagaimana anda berzakat? Dengan artian kalau anda tidak
mempunyai ilmu apa yang ingin didakwahkan?
Analogi analogi diatas bukanlah
untuk mematahkan semangat mereka yang mempunyai niat baik dalam menegakkan
kalimatullah diatas muka bumi ini, sama sekali bukan. Namun marilah sedikit
mengambil ibrah dari kehidupan bahwa segala sesuatunya butuh perencanaan dan
proses yang matang. Ketika berteriak syari’at Islam mari pahami apa sebenarnya
syari’at itu sendiri, ketika mendengungkan khilafah mari sama sama mengkaji
karya karya ulama terdahulu tentang konsep Negara. Sudahkah kita luangkan waktu
yang cukup untuk berproses menuju kematangan pengetahuan, pengetahuan itu?
jangan jangan kita yang mendengungkan khilafah, belum pernah membuka Al Ahkam
As Sultaniyah wal Wilayat Ad Diniyah karyanya Imam Al Mawardi? Atau minimal As
siyasah As Syar’iyah punya Ibnu Taimiyah? Sementara para orientalis lebih paham
akan itu semua daripada kita?
Pangkal persoalan dari semuanya
sebenarnya terletak kepada seberapa rajinkah umat ini menelaah khazanah
keilmuan, bukankah peradaban umat terdahulu berbanding lurus dengan geliat
keilmuan? Memang itu saja tak cukup tanpa pengamalan tapi bagaimana kita mau
beramal kalau tak mempunyai keilmuan yang mumpuni, membaca memang capek, lelah
dan malas, duduk dimajlis ilmu memang terkadang ngantuk, namun itu semua
merupakan jalan paling jitu memajukan perdadaban umat ini. Jangan sampai kita
termasuk dalam kategori adigium ini “man amila amalan biduni ilmin, yufsidu
aktsar mimmaa yushlih” barang siapa yang beramal tanpa disertai dengan ilmu
maka ia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki.
Wallahu A’lam.
Oleh: Muhammad Aminuddin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar